CATATAN BERSAMA DJULI DJATIPRAMBUDI
Mari Menjadi Seniman Bergagasan!

Gerakan Jaringan RumahUSAHA (JRU) untuk terus berbuat sesuatu demi pertumbuhan bersama tetap konsisten selama bulan Ramadhan ini. Bila di komunitas lain menganggap Ramadhan merupakan sebuah bulan yang kebanyakan hanya diisi dengan sesuatu yang bernuansa religi semata, bagi JRU bulan ini merupakan berkat tersendiri karena Semarang kedatangan tokoh inspiratif di ranah seni visual yang akan memberikan warna tersendiri bagi proses kreatif seniman di manapun.

Dia adalah Djuli Djatiprambudi. Sosok lelaki yang lahir di Tuban ini dikenal sebagai kurator seni rupa dengan jam terbang luar biasa sekaligus sebagai akademisi seni di Universitas Negeri Surabaya. Kedatangannya di Semarang tentu saja bukan tanpa alasan, dia akan menyebarkan virus baru bernama “curatorial by process” yang memungkinkan semua orang bisa menjadi seniman asalkan memiliki modal gagasan estetik dan komitmen tinggi untuk bisa menghasilkan sebuah karya. Koordinator Relawan JRU, iLik sAs menyempatkan diri berbincang dengan pria dua anak yang doyan ulang-alik Surabaya-Batu ini pada diskusi kecil yang berlangsung di Warung Wedangan Jumat (12/9) malam. Berteman dengan sajian khas Warung Wedangan dan teh jahe, diskusi tersebut berlangsung gayeng membahas tentang perkembangan ranah seni visual—utamanya yang disebut sebagai seni kontemporer. Bagi Djuli, pada hakikatnya ada perbedaan fundamental antara seorang seniman dengan tukang. “Letak perbedaannya ada pada gagasan,” ujarnya membuka diskusi kecil tersebut. Seorang seniman memiliki gagasan sendiri sedangkan tukang hanya berhenti pada tataran memvisualisasikan gagasan tersebut. “Jadi dalam konteks kontemporer, bisa saja seorang pemilik gagasan estetik berupa karya visual kemudian dituangkan dalam bentuk visual setengah jadi oleh orang lain sudah sah untuk mengakui hasil karya tersebut sebagai karyanya,” lanjutnya. Tentu saja, ini dibarengi dengan finalisasi sentuhan dan diferensiasi gagasan yang murni bersumber dari orang yang disebut sebagai seniman tersebut. Dengan perkembangan seni visual kontemporer yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan teknologi informasi dan media, apapun selalu bisa menjadi estetik asalkan dikerjakan dengan kaidah-kaidah estetika yang mampu mengganggu stimulasi pemaknaan orang lain. “Tidak ada lagi orisinalitas dalam karya dewasa ini, yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan yang dicoba untuk dikemukakan,” tambahnya lagi. Meskipun kontemporer, sebuah karya visual tetap saja tidak dapat dilepaskan dalam tahapan-tahapan proses stimulasi karya seni yang dimulai dengan stimulus yang kemudian berlanjut dengan penginderaan dengan keluaran berupa informasi. Informasi inilah yang kemudian diolah oleh seseorang berdasarkan referensinya menjadi sebuah pemaknaan tertentu akan karya visual tersebut. Berdasarkan pemaknaan tersebut dapat disimpulkan ada tiga jenis karya visual. Pertama adalah karya visual yang sifatnya masih deskriptif. Karya ini berhenti pada tataran menggambarkan ulang fenomena-fenomena yang menjadi inspirasi si pelukis. “Contohnya adalah seorang pelukis yang menggambarkan pohon kelapa sebagai pohon tidak bercabang, lurus menjulang, dan berbuah berwarna hijau yang bergantung di atas,” tuturnya bersemangat. Pada tahap ini yang terjadi adalah proses presentasi atas fenomena tertentu tersebut tanpa memberikan definisi lain atas objek. Kedua adalah karya visual yang sifatnya naratif. Pada tahapan ini, simbol yang menjadi objek mulai dipenuhi dengan narasi-narasi yang kemudian ditautkan dengan maksud tertentu. “Seniman di Indonesia kebanyakan masih berkutat pada tahapan visual di sini,” lanjutnya. Pada tahapan ini, kemarahan seseorang akan hegemoni Amerika divisualisasikan lewat perusakan deskripsi ideal tentang bendera Amerika. Orang akan menjadi sangat mudah mempertautkan penanda yang digunakan untuk memberikan maksud tertentu. Ketiga dan ini merupakan tahapan yang dilalui oleh pekerja senia visual yang berkaliber tinggi yaitu karya visual yang sifatnya simbolik. Pada tahapan ini, objek yang ada bisa saja menjadi absurd untuk dinalar karena proses yang melingkupinya adalah representasi atas tanda. “Ketika seorang Affandi ingin menampilkan sebuah kemanusiaan, bisa saja dia menggunakan simbol pengemis yang bagi kita bisa dianggap sangat menjengkelkan dan marjinal,” ujarnya. Pada proses ini ada konklusi dari sebuah pemaknaan ulang yang dilakukan oleh senimannya. Memahami karya pada tataran ini tentu saja membutuhkan energi ekstra sekaligus ketekunan untuk membongkar kode rahasia yang ditampilkan oleh seniman pembuatnya. “Apapun tataran seni visualnya, yang paling penting adalah karya seni tersebut memiliki daya ganggu,” lanjutnya memberikan benang merah. Daya ganggu inilah yang kemudian menjadikan nilai intrinsik sebuah karya visual menjadi berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Inilah kontemporer yang tentu saja membuat kita selalu berpikir untuk lebih dalam lagi memaknai sebuah objek sekaligus menuangkannya dalam bentuk yang secara estetik memenuhi kaidah namun tetap ada “sense of differentiation”. Kedatangan Djuli ke Semarang masih akan dilanjutkan dengan rerasan seni visual yang akan dihelat pada Sabtu (13/9) di Warung Wedangan mulai pukul 15.30. Di diskusi gratis tersebut, Djuli berjanji akan membongkar sebuah paradigma baru di ranah kurasi seni visual yaitu “curatorial by process” sekaligus berbagi pengalaman bagaimana membuat karya seni visual yang memiliki kapitalisasi tinggi di pasar. Diskusi ini terbuka untuk umum tetapi tempat terbatas. Acara dilangsungkan sebagai medium “ngabuburit” dan silaturahmi berbuka puasa bersama bagi tetamu yang hadir.
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.