Mencari Titik Terjauh

Sudah puluhan tahun usia saya, dua anak, satu istri, punya pekerjaan, banyak teman, banyak tetangga, banyak saudara, ada juga musuh beberapa. Tidak seluruh pencapaian hidup saya menggembirakan, tapi juga tidak benar kalau saya tidak mencapai apa-apa. Banyak kegagalan hidup saya, tapi dari data-data ini, saya pasti hendak menceritakan bahwa saya bukanlah orang yang gagal.

Persoalannya bagaimana mengukur prestasi saya itu dan seberapa jauh saya telah berjalan. Kalau umur menjadi ukuran, puluhan tahun itu tetaplah sebuah jarak yang jauh karena umur manusia modern memang cuma terhenti dalam bilangan puluhan, dua digit saja. Jika ukurannya adalah anak dan istri, tugas-tugas berkeluarga itu pun telah saya rampungkan. Jika ukurannya pekerjaan, banyak saudara dan banyak teman, berarti boleh saja saya menganggap telah menempuh perjalanan jauh. Jika ukurannya adalah musuh, saya telah mencoba menerima musuh-musuh saya itu tanpa kebencian. Usaha ini pastilah bukti sebuah kemajuan. Karena makin maju sebuah perjalanan, ternyata makin ia mengundang potensi permusuhan. Nyatanya, orang-orang yang maju, adalah juga orang yang tak pernah sepi dari permusuhan. Jadi tegasnya, saya ini sedang berprasangka bahwa telah jauh saya berjalan, sampai musuh pun telah saya jadikan lambang kemajuan. Prasangka ini rasanya telah begitu jauhnya sampai puasa di bulan Ramadhan ini menghentikannya. Puasa ini mengembalikan saya kembali ke lapar. Lapar ini mengembalikan saya kembali ke watak asli. Dan oleh puasa, watak asli itu dipertontonkan demikian jelasnya, bahwa semua tentang saya masih seperti sedia kala, belum berubah juga. Cuma karena kelaparan, cuma karena kelesuan akibat terputusnya kebiasaan-kebiasaan yang telah terbangun demikian lama, watak asli itu kembali lagi. Misalnya, puasa ini menghambat saya untuk menyedu teh panas di pagi hari, sebuah kebiasaan yang sudah bertahun-tahun memenjara saya. Terputusnya kebiasaan ini membuat saya seperti orang linglung, sensitif dan peka. Dan pagi di bulan puasa selalu menjadi pagi terberat dan ini membuat saya mudah meledak bahkan oleh sebab-sebab yang remeh belaka. Begitu ada kaos kaki anak yang hilang sebelah dan belum ditemukan sampai hendak berangkat sekolah, telah cukup membuat saya murka. Dengan modal kemurkaan ini, telah cukup bagi saya untuk membuat segala sesuatu terlihat dari kacamata orang yang murka. Jika saya kemudian berkendara, jalanan akan menjadi ladang kutukan. Jika di belakang saya menekan klakson, saya akan menganggapnya sebagai tantangan. Jika ada orang menyalip tanpa kesopanan saya akan mengejarnya dengan nafsu menyala-nyala. Jika saya melewati perempatan dan lampu merah tengah menyala, saya akan menganggap lampu itu seperti sedang menggoda dengan sengaja menyala terlalu lama. Pendek kata, dari benak saya yang murka, bola dunia tak lagi berputar pada porosnya. Sesampai di kantor, bahkan ketika baru memandang meja kerja, saya seperti melihat penjara. Masalah selalu datang sambung-menyambung dan saya cuma bisa terperangkap di dalamnya. Jika saya seorang atasan, maka model rambut anak buah yang keliru selera pun sudah cukup menerbitkan kemarahan. Jiksa saya bawahan, maka baru menatap kamar kerja atasan saja, saya sudah menyumpahinya habis-habisan. Jika saya bukan atasan, bukan bawahan tapi kolega, satu kedudukan, maka saya akan menganggap bahkan salam sang kawan itu pun sebagai gangguan. Jika kawan ini ternyata tidak cukup cuma bersalam tapi malah mengajak ngobrol, apalagi obrolan tentang kegembiraanya sendiri, ia akan saya anggap wabah samoar yang secepatnya layak saya singkiri. Jadi, di mata pihak yang sedang murka, seluruh dunia ini isinya hanyalah kekeliruan dan bencana. Dan saya adalah orang yang masih akrap dengan persoalan seperti ini, hingga hari ini, terutama ketika lapar tiba. Di hari-hari biasa, lapar seperti ini bisa diperpendek siklusnya. Dari saya yang pemarah karena lapar dahaga, bisa dengan cepat menjadi saya yang ramah dan penuh canda, begitu masuk warung dan rasa kenyang tiba. Bersabar, bergembira, dan menjadi mulia dengan bekal perut kenyang sungguh banyak orang berkesanggupan melakukannya. Dan soal-soal yang sanggup dikerjakan banyak orang, pastilah bukan soal yang istimewa. Jadi, jika saya cuma sanggup mengerjakan soal-soal yang tidak istimewa, soal-soal yang semua orang bisa melakukannya, berarti derajat saya memang tak lebih dari manusia kebanyakan saja. Terbukti, ketika lapar mendera, oo bukan lapar, tapi cuma sekadar gagal minum the panas pada jam yang biasanya, telah kembalilah saya ke watak semula. Lalu perjalanan seperti apa yang telah saya tempuh, perjalanan yang saya sangka telah jauh? Ternyata cukup hanya dengan teh panas, terbongkarlah siapa saya yang sesungguhnya; manusia yang masih jauh dari sebuah perjalanan jauh, seperti yang pernah saya sangka. Saya masih di sini saja, seperti semula, terpenjara di dalam teh panas saya.

- Prie GS, Budayawan, Penulis Buku Best Seller “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” -
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.