No Black No Balance

No black no balance, kalimat ini di Indonesia terkenal sebagia iklan rokok. Kepada pabrik rokok yang bersangkutan saya minta maaf.


Iklan ini begitu bagusnya hingga ia terus ada di kepala saya akibatnya saya malah sampai lupa membeli rokoknya. Tak ada hitam, tak ada keseimbangan, karena yang putih akan sendirian. Sesuatu yang sendiri, akan kehilangan hampir seluruh nilainya. Betapapun putih warna seseorang, bagaimana keputihannya hendak terasa jika tak ada hitam di sebelahnya. Ada jensi keberadaan, yang nilainya ternyata sangat bergantung pada keberadaan si kebalikannya. Itulah kenapa ada pepatah yang lebih tua no pain, no gain. Itulah kenapa ada pria wanita, siang malam, suka-derita, langit bumi…. Betapa akhirnya sederajat kedudukan siang dan malam, pria wanita duka dan derita itu. Kita tidak bisa membenci malam cuma karena ia gelap dan waktu ketika hantu-hantu memilih untuk melakukan penampakan. Kita tidak bisa cuma menyukai kegembiraan karena gembira dan duka itu seperti mobil dan rodanya. Itulah kenapa Rendra menulis : Kemarin dan esok adalah hari ini. Bencana dan keberuntungan sama saja Langit di luar langit di dalam bersatu dalam jiwa. Tapi begitulah kita ini, sesuatu yang jelas-jelas elemen mutlak keseimbangan itu betapa sering kita tolak kehadirannya.Begitu bersemangat kita ini menolak kesusahan, sehingga semua jenis soal yang mendatangkan rasa susah akan langsung kita lenyapkan. Kalau biang susah itu berupa manusia, kalau perlu ia kita racun dan dienyahkan. Orang seperti Munir dan Udin pasti korban keadaan semacam ini. Sebuah pengenyahan atas kesusahan yang terbukti keliru. Karena tindakan itu hanya mendatangkan jenis kesusahan baru dengan kelipatan yang baru pula. Akan tak henti-hentinya muncul tim pencari fakta baru yang akan mengejar hingga ke kamat-kamar tidur para pelaku. Semua jenis pesoalan yang kita tandai sebagai sumber-sumber masalah, kejengkelan dan kesusahan, hampir semuanya hendak kita lenyapkan. Tapi hasilnya bermacam-macam derita baru malah bermunculan. Padahal iklan rokok di atas itu telah mengingatkanh kita tentang hukum yang jelas, no blak no balance. Yang hitam-hitam dalam hidup kita ini penting adanya karena hidup baru bisa berjalan jika yang hitam putih hadir bersamaan. Apa jadinya bumi ini jika kutup cuma ada di selatan. Tapi tiba-tiba saja sumber-sumber keseimbangan itu akan kita matikan begitu saja, cuma karena ia tidak kita suka. Padahal jika hidup kita ini cuma hendak kita isi oleh sesuatu yang suka-suka belaka, terbukti malah cuma menimbulkan kematian. Ada bangsa yang merosot mutunya karena maunya mengizinkan cuma soal-saoal yang mereka suka. Keyakinan cuma diperbolehkan jika sesuai dengan keyakinannya. Kepada keyakinan lain yang dia tidak yakin, sebaiknya diberangus saja. Orang ini menyangka benaknya cukup menampung seluruh kebenaran yang ada sehingga mereka menyangka satu-satunya kebenaran cuma ada di dalam benaknya sendiri saja. Kepada lain benak ia muak luar biasa. Dan begitu bencinya orang ini kepada benak-benak lain, sehingga jika memungkinkan, dunia ini hendak ia isi cukup dengan satu benak itupun cuma seperti benaknya saja. Apa yang akhirnya terjadi dengan adanya benak tunggal ini? Kemerosotsan mutu hidup terjadi di mana-mana. Kalau ia membuat film pasti hasilnya jelek. Kalau bikin sinetron pasti norak dan kalau diminta menggubah ia malah menjiplak. Di sebuah masyarakat yang miskin benak, pasti akan ditemukan berbagai macam ironi. Ada orang yang sangat ingin dianggap bermutu tapi cukup dengan cara mengoleksi gelar palsu. Ada begitu banyak mengaku pemakai demokrasi tapi untuk mengaku kalah saja menjadi soal yang tidak mudah. Banyak orang maunya cuma menaaaaaang melulu. Jadi, betapa jelas, dari balik tujuan yang menggoda untuk kita singkiri itu, ternyata kepadanyalah mestinya kita menuju.

- Prie GS, Budayawan, Penulis Buku Best Seller “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.