Bekerja = Menyakitkan?

Bekerja itu menyakitkan.  Pertama karena kebosanan, kedua karena ia tak berkesudahan. Dua puluhan terakhir ini pekerjaan saya hanya dua saja: mengetik dan ceramah. Dua soal yang saya sukai , yang keduanya malah pernah saya cita-citakan, ketika hari ini benar-benar dikabulkan, mestinya membuat saya meledak oleh kegembiraan. Tapi nyatanya tidak, tepatnya, tidak selalu. Ada kalanya, komputer itu malah saya bayangkan sebagai perampok waktu-waktu terbaik saya.  Saya jadi kehilangan kesempatan bersama anak-anak, tepat ketika mereka membutuhkan. Ada kalanya panggung-panggung  ceramah itu seperti pengadilan tempat saya harus berkelit agar terbebas dari segala macam tuduhan.

Dari mana asalnya perasaan benci bahkan kepada pekerjaan yang kita sukai sekalipun ini? Dari rutinitas. Ketika segalanya telah menjadi rutin, yang tersisa hanyalah kebosanan kita kepada soal-soal yang selalu sama itu. Wajah-wajah yang sama, target-target yang sama dan suasana yang sama. Itulah kenapa harus  lahir keluhan ‘’I hate Monday,’’ itu. Karena setiap Senin, wajah yang sama itu kembali menampakkan diri.

Tetapi kehadiran Senin yang kita benci itu ternyata adalah jalan untuk menuju Jumat. Dan kepada jumat, kita terbiasa memekik: ‘’Thanks God, Its Friday!’’. Lalu mungkinkan kita memekik gembira kepada Jumat tanpa melewati kebencian kita kepada Senin. Mustahil. Jadi setiap jalan cinta itu sesungguhnya harus melewati jalan benci. Maka inilah saatnya mencintai benci karena hanya dengan melewatinya, kita akan ketemu cinta.

Bekerja memang menyakitkan, apalagi di tengah rasa bosan dan ujung yang tak pernah berkesudahan. Tulisan ini rampung, tulisan di depan sudah menanti. Belum usai dari lelah ceramah ini, esok harus ceramah itu lagi. Pekerjaan lalu menyrupai gelombang yang selalu bergulung-gulung  tanpa ujung. Dan inilah watak gelombang, semakin dilawan, gelombang itu akan  semakin mengancam. Jika arusnya kita tentang, seluruhnya dari kita cuma akan ditelan. Watak inilah yang amat dipahami oleh para peselancar. Dan ketika watak itu  sudah didamaikan, inilah  anehnya, peselancar yang kuat, malah membutuhkan gelombang yang lebih besar dan penuh gempuran. Kegembiraan mereka tergantung pada besarnya gempuran.

Jadi setiap pekerjaan itu menggempur kita, kepadanya kita diperintahkan untuk berselancar  menikmati sensasinya. Barulah terasa bahwa soal yang sebenar-benarnya rutin itu tidak ada. Setiap gelombang yang sama, selalu memuat unsur-unsur yang berbeda. Setiap air yang mengalir di sungai yang sama, selalu saja adalah air yang berbeda. Jalan yang kita lewati dari rumah ke kantor, mungkin tampak itu-itu saja. Tetapi ia adalah jalan  dengan kemungkinan yang berbeda. Kemarin tak ada mobil yang gembos di situ, sekarang ada. Dan si gembos itu adalah teman yang kita harus menolongnya. Karena si gembos terkesan  lalu kepada Anda datang tawaran yang mengubah hidup Anda selamanya.

Di kantor, kita selalu saja ketemu dengan orang-orang yang sama, tetapi sesungguhnya, ia adalah orang telah menjadi berbeda dibanding kemarin. Setidaknya usianya telah bertambah sehari. Jangan remehkan pertambahan usia ini. Jangan-jangan ia telah menjadi manusia yang lebih matang. Dari seorang yang kemarin menjengkelkan, hari ini,  ia bisa jadi telah bersiap menjadi teman terbaik Anda. Rasa sakit di balik rutinitas itu, ternyata cuma jalan menuju sehat. Maka sakitlah dengan gembira.



Prie GS
Budayawan, Penulis Buku Best Seller “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”, “3 Pil Kecerdasan”, “Pil Anti Selingkuh”, dan lain-lain.
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.