SILATURAHMI JRU-GUS MUS
Gus Mus: Semua Orang adalah Guru Saya

Gus Mus. Itu adalah nama panggilan akrab untuk pria yang terlahir dengan nama Ahmad Mustofa Bisri. Pria yang dibesarkan dalam lingkungan pesantren ini seakan hidupnya tergariskan untuk menjadi figur publik. Supel dan simpel, itulah kesan yang selalu timbul dari seorang Gus Mus. Beberapa relawan JRU yang diundang untuk mengisi lokakarya di pondok pesantren yang diasuhnya berkesempatan untuk bersilaturahmi dengannya di kediamannya di Leteh, Rembang.

Menemui sosok seperti Gus Mus seringkali terbayangkan prosedurnya yang rumit. Tetapi, itu semua lenyap ketika relawan JRU yang sebelumnya mengisi lokakarya di Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin, pondok pesantren yang diasuh oleh keluarga besarnya. Bak gayung bersambut, di Sabtu sore (28/1), beliau menemui kami yang sudah menunggu di beranda tamu kediamannya. Relawan JRU yang berkesempatan bersilaturahmi bersama adalah Heruningsih Kusumaningrum, Shanty Rosalia, Agung Sulistiarto, Arif Yudith, dan Adhimmas Nugroho. Kelima relawan tersebut sebelumnya juga menjadi narasumber bersama di lokakarya wirasantri mandiri di lokasi yang sama.

Diawali salam perkenalan yang diwakili oleh Shanty Rosalia, JRU memperkenalkan diri sebagai sebuah komunitas yang bersama-sama belajar. Mengadopsi filosofi pesantren, JRU sesungguhnya adalah sebuah “pesantren jalanan” di mana semua komponen di dalamnya belajar dalam sebuah kurikulum yang sama dalam suasana yang hangat dan akrab. Bagi JRU, apa yang dimiliki hari ini adalah sesuatu yang bermula dari sebuah tindakan, bukan sesuatu yang luar biasa dan mengada-ada. Proses belajar JRU senantiasa dimulai dari tindakan dan kemauan untuk memahami lingkungan sekitar.

Agaknya kata belajar inilah yang kemudian justru menjadi topik bagi ulasan Gus Mus sore itu. Dirinya dengan sangat rendah hati berujar jika dirinya menjadi seperti ini hanya karena pergaulan. Pasalnya, Gus Mus sendiri mengakui tidak memiliki sebuah rekam jejak pendidikan formal yang baik selain pendidikan kepesantrenan dan ijazah dari Universitas Al-Azhar Mesir. Bagi seorang Gus Mus, predikat kyai diperolehnya ketika dirinya dikenal dekat dengan Gus Dur dan sederet nama besar di dunia kyai. Predikat intelektual didapatnya ketika dirinya berasyik akrab dengan Komaruddin Hidayat, Nurcholis Madjid, dan nama besar lainnya di dunia intelektual Islam. Begitu pula dengan predikatnya budayawan, itu didapat ketika dirinya banyak berakrab dengan figur-figur di dunia kebudayaan dan kesenian.

Pesan terbesar dalam silaturahmi sore itu adalah, “saya selalu menganggap semua orang adalah guru saya.” Begitu tuturan Gus Mus dalam nada yang sangat datar dan lepas. Seorang Gus Mus tak sungkan untuk “berguru” kepada supir angkot, presiden, bahkan cucunya sendiri. Siapapun bagi seorang Gus Mus selalu memiliki nilai lebih yang kita bisa belajar darinya. “Saya tidak pernah melihat orang dari kelemahannya, saya selalu melihat kelebihannya,” tuturnya ringkas. Inilah sebuah konklusi dari sebuah silaturahmi singkat tersebut. Biarpun singkat, sore itu kami semua menyimpan sebuah impian bersama: semoga suatu saat nanti seorang Gus Mus dapat bersilaturahmi di Forum Wedangan…
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.