Pertentangan Hati

Untuk memantapkan hati masuk ke dalam dunia wirausaha pun sebenarnya tak mudah. Apalagi untuk orang-orang yang memang bukan dari keluarga pengusaha atau pebisnis, tentu akan mendapatkan banyak pertentangan dari orang-orang terdekatnya. Entah karena kita belum membuktikannya atau karena doktrin mereka yang kental dengan mental kekaryawanan. Yang jelas, kedua alasan tersebut harus kita balik menjadi sebuah pernyataan yang pro, bukan kontra lagi.

Suatu hari, Reza, salah seorang kawan merasa sedikit bimbang dengan pilihannya. Saat dirinya sedang asyik menjalani pembelajaran bisnis di pendidikan Wiramuda ini, secara tiba-tiba keluarganya memintanya keluar dan bekerja di sebuah Ditjen Bea Cukai, di mana tempat pamannya bekerja. Menurut keluarganya, bekerja di sana lebih baik karena masa depannya akan lebih jelas dibandingkan berbisnis. Sungguh pilihan yang sangat sulit baginya. Ia sangat menikmati pembelajaran bisnis yang kami lakukan bersama, tetapi di sisi lain dia tidak mungkin membantah orang tuanya.

Pertentangan hati ini sekiranya akan menjadi sebuah konflik bila tidak ditangani segera. Dibiarkan menjadi runyam, dibantah pun semakin runyam. Mungkin hal ini juga tak hanya menimpa salah satu kawan, hampir semua merasakan demikian, walaupun juga ada yang lolos dari pernyataan kontra orang tua, seperti saya. Saya yakin pun hal ini tak hanya menimpa kawan-kawan saya, tentu banyak orang yang sebelumnya harus tersandung masalah serupa dengan orang-orang terdekatnya, entah orang tua, kekasih, ataupun sahabat sekalipun.

Dalam situasi seperti ini, mungkin akan lebih banyak orang yang memilih kabur daripada menyelesaikan masalah tersebut. Mereka akan berpendapat bahwa tak ada kedamaian hati untuk berpikir. Mata batin orang-orang seperti ini telah tertutup oleh tumpukan sampah masalah. Sementara itu, mereka harus tetap menghadapi dan segera menyelesaikannya. Bagaimana mungkin masalah bisa dengan mudah terselesaikan jika kita menutup mata hati?

Jika kita mengalami hal ini, jangan terburu-buru untuk membantahnya. Mengapa? Karena terkadang penyelesaian yang terburu-buru justru bisa menimbulkan konflik yang lebih besar. Apalagi ditambah perbedaan frekuensi pemikiran antara orang tua dan anak, atau bahkan nada bicara yang mungkin saja membuat keduanya justru terpatik api kesalahpahaman.

Seperti yang dilakukan salah satu teman saya tersebut, kita bisa melakukan refleksi sejenak. Tanyakan pada diri sendiri, apakah masih ada emosi yang tersimpan dalam diri kita saat ini atau tidak. Tanyakan pula apa yang sebenarnya menjadi keinginan dan masa depan kita. Bayangkan keinginan tersebut sejelas mungkin dalam visualisasi pikiran. Buang rasa emosi yang masih tersisa, barulah kemudian jelaskan dengan ketenangan jiwa.

Know our self, listen to our heart, used our mind, synchronize heart and mind, never ending endeavor, praying, then let God do Gods job 


Serena Marga
Wiramuda, Relawan JRU
twitter: @saoriserena
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.