Sweta Kartika & Perjuangan Branding Bangsa


Apa yang membedakan produk karakter animasi dari Jepang dan Amerika Serikat bila dibandingkan dengan produk karakter dari negara lainnya? Jawabannya salah satunya adalah karena produk karakter animasi dari kedua negara tersebut merupakan "produk dunia". Tahukah Anda jika " produk dunia" tersebut juga merupakan sarana kedua negara tersebut menancapkan pengaruh kuat mengenai mereka? Sweta Kartika, komikus dari Bandung mengulasnya untuk kita semua ketika berkunjung di #SinauBareng Rekreasi Visual di Rumah Belajar Jaringan Rumah Usaha (JRU) pada Rabu (3/6/15) kemarin.


Bila dibandingkan dengan berbagai peluang kerja di dunia kreatif visual lainnya, pilihan menjadi komikus tampaknya masih belum merupakan pilihan yang populer. Apa pasal? Seorang komikus tak ubahnya adalah penulis cerita atau skenario yang langsung melakukan eksekusi penceritaannya dalam sebuah panel gambar. Komikus yang ideal tidak hanya dituntut piawai dalam menggambar semata tetapi juga liar dalam imajinasi untuk mengembangkan cerita. Benar-benar pilihan yang komprehensif. Dari cakupan bidang karya yang kompleks itulah, lahir talenta muda Nusantara dengan kreativitas yang sudah mengembara ke mana-mana. Dia adalah Sweta Kartika. Pemuda kelahiran Kebumen yang menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB hingga Pascasarjana. Kini, dia bangga menyebut dirinya sebagai komikus. Dari tangan dinginnya, kita menikmati karya komik Indonesia yang pernah menyabet predikat sebagai buku komik Indonesia yang tercepat cetak ulangnya di Indonesia versi Penerbit Gramedia, Grey dan Jingga.

Apa yang membuat komik bertema romantis tersebut memiliki basis pembaca yang begitu besar? Jawabannya terletak pada segi penggarapan kreatif yang sesuai dengan basis sasaran komik dengan alur yang tidak hiperrealitas. Semuanya diramu dari pengalaman kanan-kiri sang komikus. Jadilah komik galau ini semacam memotret fenomena sosial anak muda terkini dengan kemasan yang relatif belum pernah ada: komik. Sebagai sebuah medium, komik adalah sebuah bahasa bergambar yang mudah menghantarkan pesan bagi pembaca kita yang mudah lelah ketika membaca deretan huruf. Gambar mengekspresikan sesuatu yang lebih ekspresif meskipun komikus juga dituntut untuk tidak mereduksi imajinasi pembacanya. Sweta cerdas menangkap itu dan menemukan basis pembaca seusianya yang relatif kering dengan bacaan bergenre kehidupan mereka. Generasi 90-an pasti hafal ketika mengunyah melodrama percintaan gaya Jepang ketika membaca komik laiknya generasi millenium hari ini mengunyah melodrama gaya Korea yang dihadirkan lewat layar gelas.

Sweta yang kini tak hanya sendiri membangun karya komiknya, menggandeng talenta lainnya yang kemudian diwadahi menjadi dua studio yang digawanginya. Keduanya memiliki identitas tersendiri. Wanara Studio yang menggarap tema-tema umum dan Padepokan Ragasukma yang khusus berkonsentrasi pada cerita silat. Kini, melalui komik, Sweta tidak hanya menawarkan sebuah bacaan tetapi sebuah terobosan membangun branding dan membangun sebuah bisnis berkelanjutan dari bisnis merchandising. Sweta kemudian mencontohkan bagaimana Walt Disney dapat memiliki kapitalisasi pasar yang besar karena bisnis lisensi karakter dari berbagai produk karakter mereka.

Ada satu pertanyaan besar yang diajukan kepada Sweta pada forum yang berlangsung hingga menjelang Maghrib itu. Maukah kita membangun karakter yang tidak hanya menjadi legenda semata tetapi juga produk ekonomi berjangka panjang? Berbagai produk karakter sebenarnya juga merupakan bagian dari produk branding bangsa. Doraemon adalah salah satu duta merek untuk pariwisata Jepang. Kita juga semakin memersonifikasikan Amerika Serikat sebagai sebuah negara yang adidaya ketika melihat Captain America beraksi. Indonesia? Kita memiliki banyak potensi yang bisa dieksploitasi lebih lanjut.

Anda mau berpartisipasi?

Tidak ada komentar:

Silahkan isi komentar ...

Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.