Melayani

JANGAN menunggu senyuman, baru mau berbuat baik. Jangan menunggu dicintai, baru mau mencintai. Jangan menunggu adanya waktu, baru mau melayani. Kalimat bijak itu saya kutip dari buku Emotional Quality Management karya Anthony Dio Martin (2003: 256). Untuk melayani, kita memang tidak harus menunggu tersedianya waktu, karena kita tidak tahu lama waktu yang tersedia bagi kita. Maka, mulailah!

Robert K Greenleaf mengembangkan ide melayani itu dalam kepemimpinan. Idenya tentang kepemimpinan yang melayani (servant leadership) pada tahun 1970, cukup berpengaruh dalam manajemen organisasi dan institusi kepemimpinan. Menurut dia, servant leadership merupakan falsafah praktis yang mendahulukan tanggung jawab melayani dan tanggung jawab memimpin sebagai cara untuk meningkatkan pelayanan kepada setiap manusia di dalam masyarakat. Model kepemimpinan ini membangun kolaborasi, kepercayaan, kebijaksanaan, sikap mendengar, kekuasa an yang punya legitimasi etis, dan pemberdayaan manusia. Pemimpin jenis ini tidak mementingkan dirinya sendiri melainkan mengutamakan kepentingan bersama yang lebih luas. Maka, pemimpin yang melayani akan berusaha mengembangkan potensi diri orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menciptakan pemimpin-pemimpin yang lebih baik dari dirinya sendiri, kata seorang teman. *** DALAM perspektif budaya Jawa, pemimpin yang melayani itu tercermin dalam istilah pamong praja. Bukan pangreh praja. Karena pamong, maka pemimpin harus mengayomi rakyatnya yang dipimpin, melayani masyarakat yang menjadi stakeholder-nya. Bukan pangreh, yang hanya memerintah tanpa memberikan ketenteraman kepada yang diperintah. Dalam organisasi atau perusahaan juga begitu, pemimpin yang melayani selalu berusaha mengedepankan kepentingan karyawan, karena karyawan adalah aset yang sangat menentukan, stakeholder yang signifikan dalam maju-tidaknya organisasi/perusahaan. Pemimpin yang melayani juga tercermin dari nasihat Ki Hajar Dewantoro, yaitu ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Keteladanan sangat diperlukan dalam hal ini, sehingga pihak yang dipimpin memperoleh contoh-contoh yang baik dan merasa dimanusiakan. Memanusiakan manusia menjadi kata kunci dalam kepemimpinan yang melayani. Dalam perspektif marketing, maka pihak yang dipimpin tak ubahnya menjadi konsumen yang harus dipuaskan. Dengan begitu, pemimpin yang melayani selalu berusaha mencapai kepuasan konsumen (customer satisfaction). Tentu saja tanpa harus mengorbankan tujuan-tujuan yang prinsipiil, karena seringkali dengan melayani itu justru tujuan-tujuan utama tercapai. Tercipta rasa ikut memiliki (self of belonging) dan kebersamaan yang erat. Jenderal (Purn) Agum Gumelar ketika berbicara dalam Seminar Intuitive Decision Making di Lembaga Manajemen PPM Jakarta (30 Agustus 2007) pun menekankan bahwa selain memerlukan kepemimpinan yang kuat (strong leadership) Indonesia juga membutuhkan pemimpin yang melayani masyarakat. Tanpa itu, bangsa ini berat untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain. Menurut Agum, syarat pemimpin yang kuat adalah: tidak ambivalen, tegas dalam mengambil keputusan, siap tidak populis, dan tidak membiarkan kesalahan-kesalahan berkembang. Adapun pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mengutamakan kepentingan bersama (organisasi, perusahaan, bangsa, negara) di atas kepentingan pribadi. *** KONON, salah satu faktor pendorong kemajuan Malaysia adalah kepemimpinan yang kuat sekaligus melayani masyarakat yang diterapkan Mahathir Mohamad. Singapura pun tidak jauh berbeda, dengan model kepemimpinan Lee Kuan Yew. Pemimpin yang kuat sekaligus melayani adalah pemimpin yang berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan seperti yang diintrodusir John C MaxWell, bahwa inti kepemimpinan adalah memengaruhi (leadership is influence). Dalam hal ini, memengaruhi orang-orang yang dipimpin untuk melaksanakan sesuatu demi mencapai tujuan bersama, bukan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan tertentu. Prinsip kepemimpinan yang kuat sekaligus melayani, bisa diterapkan di semua tataran kepemimpinan. Mulai di tingkat rukun tetangga (RT), kepala desa/lurah, kepala daerah, organisasi, perusahaan, sampai kepemimpinan tingkat nasional. Prinsip itu dapat pula menjadi tolok ukur ketika rakyat Jawa Tengah memilih gubernurnya di bulan Juni 2008. Dapat pula digunakan sebagai acuan masyarakat dalam mengharapkan kepemimpinan H Mardiyanto (gubernur Jateng yang selama ini dikenal menerapkan prinsip melayani rakyat) yang beberapa hari lalu dilantik sebagai Menteri Dalam Negeri. Atau, digunakan sebagai tolok ukur dalam memilih presiden pada Pemilu mendatang. Sayangnya, masih banyak pemimpin kita yang berperan sebagai penguasa (pangreh), bukan pamong. Bukan melayani, tapi ingin selalu dilayani.

Adi Ekopriyono, Penulis & Humanis
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.