Menjual Jawa Tengah

DALAM pemasaran (marketing), brand atau merek adalah salah satu komponen nilai (value). Dua komponen yang lain adalah pelayanan dan proses. Ketiga komponen itu menentukan keberhasilan, dan harus berjalan sinergis.

Antara yang satu dan yang lain saling mendukung. Tanpa sinergi yang bagus, tidak ada jaminan suatu langkah pemasaran bisa mencapai hasil sesuai dengan harapan. Ada beberapa konsep yang dapat dipakai untuk membangun brand. Antara lain DREAM; differentiation (berbeda lebih dulu), relevant (relevan dengan produk/jasa), esteem (dihargai karena konsekuen), awareness (kesadaran dalam persepsi), dan mindís eye (memasuki mata pikiran). Dalam kaitan dengan branding suatu daerah, maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah mencari diferensiasi dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Itulah taktik inti (core tactic) yang menentukan keberhasilan langkah berikutnya. Pernyataan merek (brand statement) yang dihasilkan harus cocok dengan karakteristik daerah. Itu belum cukup, karena diferensiasi dan relevansi harus diterapkan dalam berbagai program secara konsekuen. Baru setelah itu disosialisasikan dan diinternalisasikan, sehingga persepsi masyarakat sesuai dengan harapan. Itulah sebabnya, keberhasilan brand bergantung kepada sejauh mana ia bisa memasuki pikiran, bahkan hati orang; mindshare dan heartshare. Jadi, branding bukan sekadar merek tanpa makna. Banyak faktor yang harus dibenahi, agar branding tidak hanya menjadi pemanis, lips service, kembang lambe, dan tidak bermanfaat bagi rakyat banyak. Bahkan, sering pula brand hanya menjadi nama suatu event, dan setelah event selesai, berakhir pula brand itu. Lebih tragis lagi, brand kadang hanya dipakai untuk kepentingan politik sesaat. *** DI era global sekarang ini, brand memang penting untuk mengangkat suatu daerah agar bisa bersaing dengan daerah-daerah lain. Jawa Tengah, misalnya, tidak hanya harus siap bersaing dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, tapi juga dengan provinsi-provinsi lain di negara mana pun. Intinya, brand adalah pernyataan tentang keunggulan-keunggulan komparatif dan kompetitif suatu daerah. Itu menyangkut nilai-nilai lebih yang dimiliki masyarakat suatu wilayah, bisa kabupaten/kota, provinsi, bisa pula negara. Brand menjadi salah satu tolok ukur investor, wisatawan, dan pengusaha, dalam menentukan pilihan investasi, kunjungan, maupun perdagangan. Upaya peningkatan perdagangan, pariwisata, dan investasi (trade, tourism, investment ñ TTI) itulah yang nampaknya mendasari Central Java Branding, yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Esensi semua itu adalah menjual Jawa Tengah; agar orang tahu, sadar akan kelebihan-kelebihan provinsi itu, dan melakukan tindakan nyata untuk Jawa Tengah. Agak berbeda dari daerah lain, misalnya DIY dengan Jogja Never Ending Asia atau DKI dengan Enjoy Jakarta, branding Jawa Tengah pasti lebih kompleks. Mengapa? Karena budayanya beragam meskipun dalam bingkai budaya Jawa. Ada Jawa pesisiran, ada panginyongan (banyumasan), dan budaya keraton (surakartanan). Central Java Branding memang sebaiknya berbasis budaya. Artinya, langkah yang dilakukan harus berlandasakan nilai-nilai lokal Jawa Tengah, yang membedakan dari nilai-nilai lokal daerah lain. Dibandingkan dengan Yogyakarta, misalnya, pasti budaya Jawa surakartanan memiliki kekhasan tersendiri; begitu pula pesisiran dan panginyongan. Branding berbasis budaya itulah, tantangan tidak ringan bagi pihak-pihak yang menggarap Central Java Branding, karena saat ini, seperti kata Ronggowarsito, kita menjadi wong Jawa ilang jawane. Jawa tinggal romantisme saja ketika para pemerhati dan pelaku-pelakunya berseminar, bersarasehan, berdiskusi, berdialog tentang kejayaan masa lalu, tapi sudah tidak ada lagi dalam perilaku sehari-hari. *** TIDAKLAH berlebihan kalau saya mengatakan, kini sedang terjadi kemerosotan budaya karena tergilas oleh arus globalisasi dan penetrasi budaya luar yang (maaf) ikut pula dibawa oleh agama-agama. Ada yang mengatakan, sekaranglah titik nadir budaya Jawa. Central Java Branding harus sampai kepada eksplorasi nilai-nilai lokal Jawa itu, menemukan jatidiri dan mengembangkannya menjadi pola perilaku masyarakat, sehingga yang kemudian muncul di permukaan adalah Jawa Tengah yang berbeda, yang lain dari yang lain. Perbedaan itu didukung oleh semua stakeholder, semua lapisan dan komponen masyarakat. Kalau eksplorasi semacam itu yang dilakukan dan kearifan-kearifan lokal yang kemudian terangkat ke dalam pola perilaku masyarakat, maka insya Allah langkah menjual Jateng berhasil. Argumentasinya adalah, di zaman global yang serbakapitalistik-materialistik ini diam-diam orang (di mana pun berada) rindu kepada sentuhan lokal. Dan, nilai-nilai lokal biasanya menyimpan kekuatan dahsyat yang terpendam. Jepang adalah contoh kekuatan dahsyat itu; masih merawat nilai-nilai lokal tapi hebat dalam persaingan global.

- Adi Ekopriyono, Penulis & Humanis -
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.