CATATAN DARI FORWED:
Minggu, 26 Okt '08 Simfoni Kesetiaan Darmanto Jatman – Sri Moerjati

Sebuah kesetiaan hakikatnya tidak akan dapat dipisahkan oleh apapun dan siapapun.  Mereka menyaksikan sendiri sebuah energi cinta yang dihadirkan oleh seorang perempuan yang bernama Ibu Moer dan dipersembahkan untuk suaminya, Darmanto Jatman.  Di hari-hari pemulihannya dari penyakit stroke sekarang ini. Ibu Moer tetap setia mendampingi Pak Dar.

“Darmanto itu menyala sakjane dipadangi Bu Moer,” ujar penyair Timur Sinar Suprabana yang hadir memberikan kesaksian siang itu. Kesaksian itu memberitakan kepada tetamu yang hadir jika di balik ketabahan seorang Darmanto Jatman di hari-hari pemulihannya sekarang, ada seseorang yang juga berperan besar untuk memberikan semangat itu. Dialah Ibu Moer, istri yang mendampinginya selama ini dengan sangat setia.

Ditambahkan Triyanto Triwikromo, sastrawan muda Kota Semarang yang kini tengah naik pamornya di pentas nasional. Membincangkan perjalanan Darmanto Jatman adalah membincangkan perjalanan seorang maestro. Maestro di ranah sastra. Triyanto menceritakan jika dirinya sangat mengagumi Darmanto sebagai seorang penyair yang bisa menciptakan sebuah arus utama baru yang disebut oleh publik sebagai “Gagrak Darmanto”. Di tangan Darmanto, seluruh bahasa sastra bisa disandingkan dengan teori-teori filsafat yang berasal dari Nietsche atau Derrida. Satu yang membekas di ingatan Triyanto adalah keberadaan puisi multilinguistik Darmanto yang hampir belum ada sastrawan yang bisa menyamainya. “Puisi multilinguistik itu sangat Darmanto,” ujar Triyanto.

Lain lagi komentar Prie GS, budayawan yang dikenal pula sebagai motivator bisnis.  Keberadaan Darmanto bagi Prie GS, tak ubahnya seperti seorang sufi. Ada pengalaman pribadi yang kemudian dibagikan. Prie menceritakan jika dirinya bersama Triyanto suatu kali diundang di hajatan pernikahan putra Pak Dar. Dirinya yang menjadi pembawa acara yang sedianya telah menyiapkan sumbangan ternyata justru mendapat “honor” dari sang pemilik hajat. Tidak tanggung-tanggung, Darmanto Jatman menyiapkan tiga amplop: satu untuk dirinya, satu untuk Triyanto yang ikut mendampingi Prie GS, dan satu lagi untuk membayar sopir & sewa mobil.

Pengalaman ini makin menggores ketika dalam suatu kesempatan, Prie GS yang masih belum memiliki mobil pribadi harus menumpang mobil Darmanto sepulang syuting di TVRI. Untuk memberikan kenyamanan kepada rekan mudanya ini, persona yang waktu itu tengah di puncak popularitasnya sebagai maestro penyair ini, harus duduk di belakang dan berdempetan dengan penumpang lainnya. Ini terjadi di mobil pribadinya sendiri yang memang waktu itu tidak bisa memuat orang banyak. “Hanya untuk mendudukkan saya di depan, Mas Dar harus rela duduk “untel-untelan” di belakang,” tuturnya.

Inilah siang yang sangat emosional. Bungkusan terapi melalui musik-musik yang penuh semangat yang dibawakan oleh Jodhi Yudono dan Quartet on the Street menjadi semakin bermakna dengan imbuhan “kesaksian-kesaksian” tentang Pak Dar. Jodhi Yudono adalah musisi yang memiliki rekam jejak panjang sebagai kreator lagu balada dan musikalisasi puisi. Redaktur budaya di Kompas Cyber Media ini bersama dengan empat kawan mudanya, Irul (biola), Tutut (biola), Icang (cello), dan Arif (bas) datang dari pintu ke pintu untuk memberikan penghiburan khusus bagi siapa saja yang tengah sakit.

Jodhi dkk melakukannya tanpa pretensi apapun selain ingin memberikan hiburan kepada sang sakit lewat musik yang dibawakannya. Jodhi siang itu tampil dengan balutan konser yang apik dengan repertoar lagu yang kontempelatif. Lagu-lagu Jodhi berhasil membuat suasana Forum Wedangan yang hadir siang itu menikmati sesuatu yang berbeda dibandingkan kebanyakan musik. Bukan hanya kalangan budayawan yang menyimak hingga akhir Forum Wedangan kali ini, tetapi juga kawan-kawan wirausaha muda dari berbagai kantong komunitas yang ada di Semarang.

“Sungguh ini adalah sesuatu yang berbeda, menyentuh dan sentimentil. Saya jadi ikut terhanyut dalam suasana haru” ujar Andreas, wirausaha muda dari Senity yang menyempatkan diri hadir. Forum Wedangan kali ini langsung dipandu  iLik sAs, Koordinator Relawan JRU. Ia siang itu juga berulang kali tak kuat menahan haru ketika menyaksikan sosok Pak Dar dan Ibu Moer.

Suasana siang itu memang menjadi sebuah nyanyian balada. Nyanyian semangat untuk mendoakan kepulihan Pak Dar. Seutas senyum memang berulangkali terlepas dari bibir Pak Dar ketika menyaksikan sajak-sajaknya seperti “Ki Blakasuta Bla-Bla-Bla” dan “Marto Klungsu dari Leiden” dibawakan dengan sangat fasih oleh Jodhi. Sesekali Pak Dar mengusap leleran air mata di pipi.
Dua relawan cilik JRU, Anis Sas dan Nabila Narulita juga berkesempatan menghibur tetamu dengan membawakan puisi “Angin” karya Siva yang dimusikalisasi oleh Jodhi. Jodhi juga tak jarang berdialog dengan penontonnya melalui penceritaan asal-usul keberadaannya sebagai musisi terapis hingga ke pengalamannya ketika menghibur banyak orang yang tengah dirudung sakit. Tak kurang ia juga menceritakan pengalamannya ketika menghibur Pepeng, komedian yang kini hanya bisa melewatkan hari di atas tempat tidur.

“Ketika itu, darah Mas Pepeng yang biasanya biru karena ada pembusukan menjadi merah karena ada semangat yang mengalir,” tuturnya. Secara penampilan, Jodhi Yudono bersama dengan Quartet on the Street tanpa cela untuk konser di sebuah warung yang padat oleh tetamu. Terlatih menghibur di ruangan apapun—termasuk di sebuah kamar perawatan—Jodhi dan kawan-kawan merasakan sebuah penampilan yang maksimal. Lagu demi lagu mengalun dengan lepas, narasi juga ditampilkan dekat dengan tetamu yang hadir.

“Konser kali ini memang saya dedikasikan khusus untuk Mas Tok (panggilan akrab Darmanto Jatman),” ujar Jodhi. Jodhi bersama Quartet on the Street bertekad akan terus berkarya untuk kemanusiaan melalui gesekan biola dan petikan dawai.

Biarpun Minggu pagi hingga siang adalah waktu untuk keluarga bagi kebanyakan orang, relawan JRU bisa membuktikannya berbeda. Siang itu, Minggu yang cerah, hampir seluruh relawan JRU bisa datang merapat. Mereka semua merapat untuk membuktikan sebuah komitmen: berbagi.

Forum Wedangan kemudian ditutup dengan rehat makan siang dan akhirnya berakhir dengan kepulangan sang budayawan, Darmanto Jatman dengan senyuman. Senyuman yang penuh arti, semoga dapat terus memantikkan semangat. Lekas sembuh Pak Dar, berjuanglah terus Ibu Mur, kami akan terus menjadi saksi bagi simfoni kesetiaan yang tengah dialunkan...
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.