Kita & Mental Ambtenaar
Melihat Indonesia hari ini tak ubahnya melihat sebuah sinetron yang mungkin saja berakhir sedih. Praktik-praktik penyelewengan yang dilakukan secara terang-terangan, harga bahan makanan pokok yang terus melambung, hingga ke masalah-masalah sosial yang seolah-olah tidak akan berujung.
Melihat masa depan Indonesia hari ini sama dengan berkaca pada cermin retak yang menampilkan wajah kita hanya dalam potongan tetapi masih memungkinkan untuk kita susun ulang agar menampilkan wajah kita dengan sempurna. Analogi cermin ini mungkin sama dengan apa yang dialami Jepang pasca pemboman Hiroshima dan Nagasaki pada 1945. Peristiwa yang menjadi akhir dari legenda Perang Dunia ke 2 tersebut merupakan akhir dari jerih-payah bangsa Jepang yang membangun negaranya dengan susah-payah usai Restorasi Meiji. Peradaban mereka di kedua kota tersebut hancur total dengan menyisakan banyak korban yang sebenarnya tak berdosa. Kehidupan Jepang sebagai sebuah negara praktis hancur. Momentum tersebut adalah momentum memalukan di mana sebagai bangsa mereka harus menerima kekalahan. Tetapi, bangsa ini ternyata adalah bangsa yang terpilih untuk membuat legenda-legenda. Kini Jepang bergulir pasti, tampil sebagai salah satu negara industri paling efisien. Produk Jepang sangat murah dengan teknologi yang tidak seberapa jauh bila dibandingkan produk-produk buatan Eropa bahkan Amerika Serikat sendiri—negara yang secara telak telah mengalahkan mereka dan mengawasi mereka dengan pangkalan militernya di Okinawa. Jepang membuktikan kepada dunia, bahwa dirinyalah yang menjadi negara yang mampu menguasai pasar Amerika dengan kehadiran produk-produk mereka. Bahkan, industri otomotif yang secara tradisi menjadi kebanggan Amerika Serikat—dengan Ford dan GM-nya—berhasil dilibas dengan barisan Toyota dan Lexus yang merajai pasar otomotif Amerika Serikat. Fenomena ini bahkan untuk mobil kelas mewah sekalipun dengan cerita Lexus yang sejatinya adalah mobil dengan “mesin Jepang” tetapi penampilan “Eropa”. Bercerita tentang Jepang, tentu saja bercerita tentang semangat bushido mereka yang kuat ditanamkan sebagai konsekuensi dari budaya Samurai yang menjadi kekayaan nenek moyang mereka. Contoh nyata dari semua itu adalah cerita sukses Soichiro Honda yang hari ini seluruh keturunannya akan sangat terjamin dari bisnis Honda yang tersebar hampir di seluruh pelosok dunia. Lain Honda, lain pula Sakichi Toyoda. Klan keluarga ini dengan sangat meyakinkan mampu mentransformasi arah bisnis mereka dari pertekstilan menjadi rekayasa otomotif terbesar dunia yang belum terkalahkan hingga saat ini. Ada juga cerita tentang Konosuke Matsu%@!#$&a yang ketekunannya menjadikan Panasonic sebagai salah satu merek elektronik terkenal di dunia—langsung berhadapan dengan merek-merek besar seperti Philips, Westinghouse, GE, dan beberapa yang lain. Cerita-cerita sukses tersebut selalu bermuara pada satu terminal: mereka adalah teknokrat, pemikir masa depan, dan adalah seorang wirausaha! Jadi, semangat kerja keras, ketekunan, atau bahkan intelektualitas tidak akan pernah menghasilkan apa-apa tanpa dilandasi dengan semangat kewirausahaan yang kuat. Bagaimana mungkin seorang Soichiro Honda bisa menjadikan namanya sendiri sebagai salah satu merek otomotif terbaik dunia tanpa dilandasi oleh semangat kemandirian dan kewirausahaan yang begitu kuat sehingga memungkinkan namanya menjadi salah satu merek kuat yang diakui secara multinasional? Revolusi Kewirausahaan Kemandirian. Inilah kata kunci yang menjadikan seseorang bersemangat untuk menatap masa depannya dengan tenang dan pasti. Independensi seperti inilah yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia untuk bisa “menyusun kembali” cermin yang retak. Kemandirian ini akan diamplifikasi begitu besar melalui sebuah revolusi kewirausahaan. Sosialisasi kewirausahaan yang dibarengi dengan langkah nyata dan dalam jumlah yang besar sehingga menjadikan banyak orang kemudian melakukan perubahan di tempatnya masing-masing dalam sebuah koridor kewirausahaan. Tetapi, berpikir tentang revolusi kewirausahaan juga tidak akan lengkap membicarakan tantangannya secara nyata di lapangan. Indonesia sebagai sebuah bangsa memiliki “penyakit kronis” yang menghinggapi kita sudah hampir berabad-abad. Penyakit tersebut adalah mental ambtenaar. Mental untuk menjadi pangreh praja, yang memiliki kekuasaan atas pemberian orang lain dan kemudian cenderung menghamba kepada orang yang memberikan kekuasaan. Mental inilah yang kemudian bermutasi menjadi mental gajian, mental pegawai, dan sebutan mental-mental lainnya yang berada di luar konteks kewirausahaan dan kemandirian. Bila Anda tidak percaya kita memiliki mental seperti itu, lihatlah fakta di lapangan ketika penerimaan CPNS dibuka. Lowongan untuk ratusan PNS, pelamarnya mencapai jumlah ribuan. Tragisnya lagi, praktik kolusi penerimaan CPNS selalu tersiar. Hasilnya, ketika mereka memang benar-benar menjadi seorang PNS, segala macam “kesempatan” untuk menggenerasi uang mereka lakukan termasuk di dalamnya melakukan green collar crime seperti korupsi uang rakyat hingga kolusi. Fakta tersebut kemudian masih ditambah dengan apresiasi negatif banyak orangtua terhadap pilihan anak mereka yang ingin menjadi seorang wirausaha. Mereka menganggap menjadi seorang wirausaha bagaikan menjala angin, membutuhkan modal besar, dan berbagai alasan lain yang intinya mencegah anak-anak mereka memasuki ranah tersebut. Mereka menganggap gaji setiap bulan, fasilitas sekelas manajer, bahkan tunjangan hari tua “lebih terhormat” ketimbang untung sehari yang kemudian diputar untuk modal selanjutnya. Doktrin mereka tentu saja mengharapkan anaknya menjadi PNS atau setidaknya karyawan di perusahaan mapan baik perusahaan lokal ataupun multinasional. Mereka akan lebih bangga menyebut anaknya bekerja sebagai PNS ketimbang menyebut anaknya yang memiliki usaha kredit perabot rumah tangga keliling. Padahal, secara penghasilan, kedua anak tersebut tidak jauh berbeda bahkan mungkin lebih banyak yang kedua. Inilah fakta-fakta yang mengindikasikan penurunan genetis mental ambtenaar. Gawatnya lagi, penurunan genetis ini didukung oleh desain pendidikan yang lebih banyak menitikberatkan pada kemampuan generalis di banyak bidang ketimbang kemampuan spesialis. Orang pada desain pendidikan sebelumnya dipaksa hanya menjadi seorang generalis yang banyak mengetahui sesuatu tetapi tidak mendalam betul sebagai konsekuensi terlalu banyaknya materi yang dijejalkan ke otak peserta pendidikan. Hasilnya, pendidikan kita hanya mencetak generasi yang unggul secara teoretis semata dengan kekurangan yang besar di sisi praktisnya. Mereka sangat pandai berwacana tetapi ketika diajak mengimplementasikannya, mereka mengalami sebuah kebingungan besar yang tentu saja bukan kesalahan mereka sendiri. Mereka dalah produk dari desain pendidikan yang lebih mengutamakan pengembangan otak kiri dengan jalan pemikiran yang rasional, logis, dan berurutan. Sedangkan, dunia yang terus berkembang menuntut pemikiran-pemikiran imajinatif yang selamanya tidak berdasarkan pengalaman teoretis a la sekolahan atau kampus semata. Desain pendidikan yang salah tersebut, ternyata baru belakangan ini disadari oleh pemerintah. Kesadaran baru muncul ketika jumlah pengangguran sudah meningkat drastis dengan ratusan ribu di antaranya berkualifikasi sarjana. Departemen Pendidikan Nasional sebagai regulator di bidang pendidikan kemudian sibuk mempromosikan berbagai bentuk pendidikan link and match, basis vokasi, hingga ke penanaman kewirausahaan ke sekolah & kampus-kampus. Pendidikan kejuruan juga distimulasi sedemikian rupa agar tampak setara dengan pendidikan menengah umum yang sebelumnya menjadi orientasi pembinaan kependidikan menengah. Ini semua dilakukan sebagai bentuk “pertanggungjawaban sosial” sang regulator yang ternyata regulasinya justru menjadi bumerang berganda bagi pekerjaan rumah bangsa. Mengapa kita selalu terlambat mengetahui hal ini semua ketika eksesnya sudah begitu besar? Inilah pertanyaan yang kita perlu jawab bersama. Mentalitas berpangku tangan, gajian, bahkan menyalahgunakan wewenang sudah saatnya kita upayakan agar tidak “menurun” sebagai sebuah warisan sosial. Sebab, mentalitas kontraproduktif semacam itu, bila kita lanjutkan, justru akan menjadi bumerang berganda bagi bangsa kita sendiri di era globalisasi. Inilah yang membuat kita perlu kembali melihat Jepang. Jepang dari sisi paradigma berpikir mereka. Paradigma berpikir bahwa sesuatu lebih baik dihasilkan sendiri. Paradigma inilah yang membuat mereka tumbuh menjadi industrialis besar berskala global. Menghasilkan sebuah bangsa produktif tampaknya adalah pekerjaan besar bagi kita. Mengapa? Karena kita membutuhkan revolusi mental dan paradigma kita. Kita tampaknya perlu melihat, BPS pada 2006 mencatat ada 39,05 juta orang penduduk miskin. Pengangguran berjumlah puluhan juta orang dengan ratusan ribu di antaranya adalah sarjana. Beras raskin adalah sesuatu yang diperebutkan, bukan hanya oleh mereka yang benar-benar miskin tetapi oleh mereka yang sebenarnya mampu secara ekonomi tetapi lemah secara mental. Kita juga melihat bagaimana praktik penyelenggaraan negara kita dipenuhi oleh para aktor opera sabun yang hanya berpikir pada kepentingan sektoral dan jangka pendek. Kita adalah bangsa yang paling sensitif terhadap perkembangan harga minyak dunia, sehingga sangat mudah membebani anggaran kita untuk hanya berpayah-payah menggelar subsidi yang hasilnya dinikmati oleh para pemilik kendaraan bermotor yang harganya di atas seratus juta. Kita adalah bangsa yang setiap pundak penduduknya menanggung utang rata-rata sebanyak Rp 6 juta. Pertanyaannya, Inikah Indonesia yang kita wariskan nantinya?
iLik sAs, Praktisi bisnis mikro, Kordinator Relawan JRU
Melihat masa depan Indonesia hari ini sama dengan berkaca pada cermin retak yang menampilkan wajah kita hanya dalam potongan tetapi masih memungkinkan untuk kita susun ulang agar menampilkan wajah kita dengan sempurna. Analogi cermin ini mungkin sama dengan apa yang dialami Jepang pasca pemboman Hiroshima dan Nagasaki pada 1945. Peristiwa yang menjadi akhir dari legenda Perang Dunia ke 2 tersebut merupakan akhir dari jerih-payah bangsa Jepang yang membangun negaranya dengan susah-payah usai Restorasi Meiji. Peradaban mereka di kedua kota tersebut hancur total dengan menyisakan banyak korban yang sebenarnya tak berdosa. Kehidupan Jepang sebagai sebuah negara praktis hancur. Momentum tersebut adalah momentum memalukan di mana sebagai bangsa mereka harus menerima kekalahan. Tetapi, bangsa ini ternyata adalah bangsa yang terpilih untuk membuat legenda-legenda. Kini Jepang bergulir pasti, tampil sebagai salah satu negara industri paling efisien. Produk Jepang sangat murah dengan teknologi yang tidak seberapa jauh bila dibandingkan produk-produk buatan Eropa bahkan Amerika Serikat sendiri—negara yang secara telak telah mengalahkan mereka dan mengawasi mereka dengan pangkalan militernya di Okinawa. Jepang membuktikan kepada dunia, bahwa dirinyalah yang menjadi negara yang mampu menguasai pasar Amerika dengan kehadiran produk-produk mereka. Bahkan, industri otomotif yang secara tradisi menjadi kebanggan Amerika Serikat—dengan Ford dan GM-nya—berhasil dilibas dengan barisan Toyota dan Lexus yang merajai pasar otomotif Amerika Serikat. Fenomena ini bahkan untuk mobil kelas mewah sekalipun dengan cerita Lexus yang sejatinya adalah mobil dengan “mesin Jepang” tetapi penampilan “Eropa”. Bercerita tentang Jepang, tentu saja bercerita tentang semangat bushido mereka yang kuat ditanamkan sebagai konsekuensi dari budaya Samurai yang menjadi kekayaan nenek moyang mereka. Contoh nyata dari semua itu adalah cerita sukses Soichiro Honda yang hari ini seluruh keturunannya akan sangat terjamin dari bisnis Honda yang tersebar hampir di seluruh pelosok dunia. Lain Honda, lain pula Sakichi Toyoda. Klan keluarga ini dengan sangat meyakinkan mampu mentransformasi arah bisnis mereka dari pertekstilan menjadi rekayasa otomotif terbesar dunia yang belum terkalahkan hingga saat ini. Ada juga cerita tentang Konosuke Matsu%@!#$&a yang ketekunannya menjadikan Panasonic sebagai salah satu merek elektronik terkenal di dunia—langsung berhadapan dengan merek-merek besar seperti Philips, Westinghouse, GE, dan beberapa yang lain. Cerita-cerita sukses tersebut selalu bermuara pada satu terminal: mereka adalah teknokrat, pemikir masa depan, dan adalah seorang wirausaha! Jadi, semangat kerja keras, ketekunan, atau bahkan intelektualitas tidak akan pernah menghasilkan apa-apa tanpa dilandasi dengan semangat kewirausahaan yang kuat. Bagaimana mungkin seorang Soichiro Honda bisa menjadikan namanya sendiri sebagai salah satu merek otomotif terbaik dunia tanpa dilandasi oleh semangat kemandirian dan kewirausahaan yang begitu kuat sehingga memungkinkan namanya menjadi salah satu merek kuat yang diakui secara multinasional? Revolusi Kewirausahaan Kemandirian. Inilah kata kunci yang menjadikan seseorang bersemangat untuk menatap masa depannya dengan tenang dan pasti. Independensi seperti inilah yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia untuk bisa “menyusun kembali” cermin yang retak. Kemandirian ini akan diamplifikasi begitu besar melalui sebuah revolusi kewirausahaan. Sosialisasi kewirausahaan yang dibarengi dengan langkah nyata dan dalam jumlah yang besar sehingga menjadikan banyak orang kemudian melakukan perubahan di tempatnya masing-masing dalam sebuah koridor kewirausahaan. Tetapi, berpikir tentang revolusi kewirausahaan juga tidak akan lengkap membicarakan tantangannya secara nyata di lapangan. Indonesia sebagai sebuah bangsa memiliki “penyakit kronis” yang menghinggapi kita sudah hampir berabad-abad. Penyakit tersebut adalah mental ambtenaar. Mental untuk menjadi pangreh praja, yang memiliki kekuasaan atas pemberian orang lain dan kemudian cenderung menghamba kepada orang yang memberikan kekuasaan. Mental inilah yang kemudian bermutasi menjadi mental gajian, mental pegawai, dan sebutan mental-mental lainnya yang berada di luar konteks kewirausahaan dan kemandirian. Bila Anda tidak percaya kita memiliki mental seperti itu, lihatlah fakta di lapangan ketika penerimaan CPNS dibuka. Lowongan untuk ratusan PNS, pelamarnya mencapai jumlah ribuan. Tragisnya lagi, praktik kolusi penerimaan CPNS selalu tersiar. Hasilnya, ketika mereka memang benar-benar menjadi seorang PNS, segala macam “kesempatan” untuk menggenerasi uang mereka lakukan termasuk di dalamnya melakukan green collar crime seperti korupsi uang rakyat hingga kolusi. Fakta tersebut kemudian masih ditambah dengan apresiasi negatif banyak orangtua terhadap pilihan anak mereka yang ingin menjadi seorang wirausaha. Mereka menganggap menjadi seorang wirausaha bagaikan menjala angin, membutuhkan modal besar, dan berbagai alasan lain yang intinya mencegah anak-anak mereka memasuki ranah tersebut. Mereka menganggap gaji setiap bulan, fasilitas sekelas manajer, bahkan tunjangan hari tua “lebih terhormat” ketimbang untung sehari yang kemudian diputar untuk modal selanjutnya. Doktrin mereka tentu saja mengharapkan anaknya menjadi PNS atau setidaknya karyawan di perusahaan mapan baik perusahaan lokal ataupun multinasional. Mereka akan lebih bangga menyebut anaknya bekerja sebagai PNS ketimbang menyebut anaknya yang memiliki usaha kredit perabot rumah tangga keliling. Padahal, secara penghasilan, kedua anak tersebut tidak jauh berbeda bahkan mungkin lebih banyak yang kedua. Inilah fakta-fakta yang mengindikasikan penurunan genetis mental ambtenaar. Gawatnya lagi, penurunan genetis ini didukung oleh desain pendidikan yang lebih banyak menitikberatkan pada kemampuan generalis di banyak bidang ketimbang kemampuan spesialis. Orang pada desain pendidikan sebelumnya dipaksa hanya menjadi seorang generalis yang banyak mengetahui sesuatu tetapi tidak mendalam betul sebagai konsekuensi terlalu banyaknya materi yang dijejalkan ke otak peserta pendidikan. Hasilnya, pendidikan kita hanya mencetak generasi yang unggul secara teoretis semata dengan kekurangan yang besar di sisi praktisnya. Mereka sangat pandai berwacana tetapi ketika diajak mengimplementasikannya, mereka mengalami sebuah kebingungan besar yang tentu saja bukan kesalahan mereka sendiri. Mereka dalah produk dari desain pendidikan yang lebih mengutamakan pengembangan otak kiri dengan jalan pemikiran yang rasional, logis, dan berurutan. Sedangkan, dunia yang terus berkembang menuntut pemikiran-pemikiran imajinatif yang selamanya tidak berdasarkan pengalaman teoretis a la sekolahan atau kampus semata. Desain pendidikan yang salah tersebut, ternyata baru belakangan ini disadari oleh pemerintah. Kesadaran baru muncul ketika jumlah pengangguran sudah meningkat drastis dengan ratusan ribu di antaranya berkualifikasi sarjana. Departemen Pendidikan Nasional sebagai regulator di bidang pendidikan kemudian sibuk mempromosikan berbagai bentuk pendidikan link and match, basis vokasi, hingga ke penanaman kewirausahaan ke sekolah & kampus-kampus. Pendidikan kejuruan juga distimulasi sedemikian rupa agar tampak setara dengan pendidikan menengah umum yang sebelumnya menjadi orientasi pembinaan kependidikan menengah. Ini semua dilakukan sebagai bentuk “pertanggungjawaban sosial” sang regulator yang ternyata regulasinya justru menjadi bumerang berganda bagi pekerjaan rumah bangsa. Mengapa kita selalu terlambat mengetahui hal ini semua ketika eksesnya sudah begitu besar? Inilah pertanyaan yang kita perlu jawab bersama. Mentalitas berpangku tangan, gajian, bahkan menyalahgunakan wewenang sudah saatnya kita upayakan agar tidak “menurun” sebagai sebuah warisan sosial. Sebab, mentalitas kontraproduktif semacam itu, bila kita lanjutkan, justru akan menjadi bumerang berganda bagi bangsa kita sendiri di era globalisasi. Inilah yang membuat kita perlu kembali melihat Jepang. Jepang dari sisi paradigma berpikir mereka. Paradigma berpikir bahwa sesuatu lebih baik dihasilkan sendiri. Paradigma inilah yang membuat mereka tumbuh menjadi industrialis besar berskala global. Menghasilkan sebuah bangsa produktif tampaknya adalah pekerjaan besar bagi kita. Mengapa? Karena kita membutuhkan revolusi mental dan paradigma kita. Kita tampaknya perlu melihat, BPS pada 2006 mencatat ada 39,05 juta orang penduduk miskin. Pengangguran berjumlah puluhan juta orang dengan ratusan ribu di antaranya adalah sarjana. Beras raskin adalah sesuatu yang diperebutkan, bukan hanya oleh mereka yang benar-benar miskin tetapi oleh mereka yang sebenarnya mampu secara ekonomi tetapi lemah secara mental. Kita juga melihat bagaimana praktik penyelenggaraan negara kita dipenuhi oleh para aktor opera sabun yang hanya berpikir pada kepentingan sektoral dan jangka pendek. Kita adalah bangsa yang paling sensitif terhadap perkembangan harga minyak dunia, sehingga sangat mudah membebani anggaran kita untuk hanya berpayah-payah menggelar subsidi yang hasilnya dinikmati oleh para pemilik kendaraan bermotor yang harganya di atas seratus juta. Kita adalah bangsa yang setiap pundak penduduknya menanggung utang rata-rata sebanyak Rp 6 juta. Pertanyaannya, Inikah Indonesia yang kita wariskan nantinya?
iLik sAs, Praktisi bisnis mikro, Kordinator Relawan JRU
Tidak ada komentar:
Silahkan isi komentar ...