Menyatukan Langkah
Egoisme dan pemikiran bersumbu pendek seringkali masih menghinggapi keseharian kita. Inilah yang membuat kita merasa tidak pernah berada di jalur cepat kesuksesan. Inilah salah satu pernyataan yang tengah dicoba kami semua jawab dengan Pendidikan Wiramuda.
Dalam keseharian kita, egoisme seringkali menjadi bagian dari langkah-langkah kita. Masyarakat yang semakin individualis dan pendidikan yang saat ini semakin jauh dari pendidikan etika dan budi pekerti menjadi faktor pendukung dari makin suburnya egoisme ini. Masyarakat kita—terutama yang urban—semakin jauh dari budaya komunal yang sangat mengharubirukan kebersamaan dan kolektivitas. Mungkin karena alasan itulah, saat ini apa yang kita hadapi sebagai sebuah komunitas menjadi semakin sulit untuk diantisipasi bahkan diatasi. Perlu dicatat, keseharian kita akhir-akhir ini semakin akrab saja dengan berbagai intrik politik kepentingan menjelang 2009 atau hanya sekadar kelangkaan bahan bakar. Kita selalu berpikir secara sektoral, egoistis, dan bersumbu pendek. Tidak pernah terintegrasi. Padahal, di era yang semakin global saat ini, apapun sudah tidak dapat berdiri sendiri. Semuanya berhubungan baik disadari maupun tidak disadari. Termasuk di dalamnya adalah mengatasi masalah pengangguran. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang adalah sumber masalah jika seperlimanya adalah pengangguran. Premanisme, berbagai tindakan kriminalitas, dan besarnya jaminan sosial yang harus disediakan masyarakat (bukan pemerintah!) adalah ekses-ekses yang anak SD saja tahu jika itu adalah mata rantai dari ketidakberdayaan pemerintah mengatasi masalah pengangguran. Jika sudah sekronis ini, apa yang harus kita lakukan? Tidak ada kata lain selain mengatasinya. Tetapi, mengatasi hal ini harus dengan jalan lain yang terintegrasi. Sudah saatnya kita tidak berpikir sektoral. Mengatasinya harus dimulai dari sumbu terdasar permasalahan hingga ke alternatif pemecahannya. Melihat kondisi ekonomi korporasi akhir-akhir ini, agaknya penyediaan lapangan kerja di sektor formal bukan menjadi solusi yang membantu. Salah satunya melalui sektor informal. Di sinilah kewirausahaan memainkan peranan penting. Mengembangkan kewirausahaan, di sisi yang lain juga tengah mengalami hal serupa: tidak ada kesamaan visi dan cetak biru yang memayunginya. Hampir semua lembaga kini selalu berteriak hal yang sama. Mereka mendukung penyebaran virus-virus kewirausahaan hingga ke ranah yang terkecil. Di banyak modifikasinya, kewirausahaan sesungguhnya juga diimplementasikan melalui program semacam PNPM Mandiri yang kini tengah gencar dipromosikan atau berbagai program pemberdayaan lainnya yang diselenggarakan oleh instansi pemerintahan atau berbagai LSM. Sekali lagi, di konteks mencari solusi atas masalah kita sendiri, kita juga mengalami hal yang sama: berpikiran egois. Pikiran sektoral inilah yang menjadikan kewirausahaan tak ubahnya masih berjalan di tempat. Bahkan, di banyak kasus, program yang selalu dilabeli pemberdayaan ini tak ubahnya hanya mengajarkan masyarakat marjinal kita untuk menjadi peminta-minta dana bergulir. Pertanyaannya: apakah ini akan kita teruskan? Tentu saja jawabannya tidak. Sungguh bodoh apabila kita terus membiarkan realitas ini terjadi. Tak ada jalan lain untuk mengantisipasi hal ini menjadi sebuah kebudayaan kontraproduktif baru di masyarakat kita. Kita harus memiliki cetak biru untuk pengembangan kewirausahaan. Cetak biru inilah yang tengah diujicobakan oleh JRU dengan dukungan Bank Indonesia, BP Dikjur, dan Kadin Jawa Tengah. Mengembangkan kewirausahaan tentu saja berkaitan erat dengan menciptakan sekumpulan orang yang bermental dan berkarakter wirausaha unggulan. Wirausaha memiliki konteks yang lebih luas ketimbang sekadar pedagang. Wirausaha harus memiliki visi yang lebih jauh ketimbang sekadar makelar. Inilah yang menjadi tugas berat saat ini. Mengapa? Ini semua karena di jenjang pendidikan formal kita selalui dijejali segala sesuatu yang sifatnya teoretis. Padahal, kewirausahaan ada di ranah sebaliknya: praktis dan berorientasi pasar. Semuanya hanya terjadi karena empat komponen tersebut berpadu. Bank Indonesia dan Kadin Jawa Tengah yang selama ini dikenal sebagai “menara gading” berkenan untuk memperhatikan kebutuhan kaum marjinal seperti ini: mendidik anak-anak kurang mampu menjadi pemilik usaha. Fasilitas dan sarana benar-benar disediakan oleh BP Dikjur Provinsi Jawa Tengah dengan percuma. Inilah yang menjadikan JRU sebagai konseptor dan operator dengan sangat yakin menjadikan program ini benar-benar gratis atau tidak berbayar sedikitpun. Pendidikan Wiramuda ini adalah formula kompilasi dari komitmen mereka semua. Pendidikan ini intinya adalah pendidikan bergembira-ria, menemukan jati diri, dan menempa mentalitas. Keempat lembaga tersebut selalu duduk sejajar dan berbagi tugas: menjadikan kader-kader ini sebagai wirausaha muda unggulan. Inilah sinergi ideal yang bila terus digelindingkan akan bisa memberikan warna khusus bagi terciptanya kader-kader wirausaha yang memiliki mentalitas dan karakter unggul. Alasannya sederhana: buat apa kita membiayai mereka yang mampu memiliki akses untuk menjadi wirausaha? Bukankah inti utama kelompok yang harus kita sentuh justru terletak di mereka yang tidak mampu? Inilah yang dicoba untuk dijawab oleh Pendidikan Wiramuda. Dengan kesatuan langkah tentunya. (Tulisan ini dapat juga dijumpai di Buletin Wiramuda edisi khusus Temu Wiramuda 2008)
Dalam keseharian kita, egoisme seringkali menjadi bagian dari langkah-langkah kita. Masyarakat yang semakin individualis dan pendidikan yang saat ini semakin jauh dari pendidikan etika dan budi pekerti menjadi faktor pendukung dari makin suburnya egoisme ini. Masyarakat kita—terutama yang urban—semakin jauh dari budaya komunal yang sangat mengharubirukan kebersamaan dan kolektivitas. Mungkin karena alasan itulah, saat ini apa yang kita hadapi sebagai sebuah komunitas menjadi semakin sulit untuk diantisipasi bahkan diatasi. Perlu dicatat, keseharian kita akhir-akhir ini semakin akrab saja dengan berbagai intrik politik kepentingan menjelang 2009 atau hanya sekadar kelangkaan bahan bakar. Kita selalu berpikir secara sektoral, egoistis, dan bersumbu pendek. Tidak pernah terintegrasi. Padahal, di era yang semakin global saat ini, apapun sudah tidak dapat berdiri sendiri. Semuanya berhubungan baik disadari maupun tidak disadari. Termasuk di dalamnya adalah mengatasi masalah pengangguran. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang adalah sumber masalah jika seperlimanya adalah pengangguran. Premanisme, berbagai tindakan kriminalitas, dan besarnya jaminan sosial yang harus disediakan masyarakat (bukan pemerintah!) adalah ekses-ekses yang anak SD saja tahu jika itu adalah mata rantai dari ketidakberdayaan pemerintah mengatasi masalah pengangguran. Jika sudah sekronis ini, apa yang harus kita lakukan? Tidak ada kata lain selain mengatasinya. Tetapi, mengatasi hal ini harus dengan jalan lain yang terintegrasi. Sudah saatnya kita tidak berpikir sektoral. Mengatasinya harus dimulai dari sumbu terdasar permasalahan hingga ke alternatif pemecahannya. Melihat kondisi ekonomi korporasi akhir-akhir ini, agaknya penyediaan lapangan kerja di sektor formal bukan menjadi solusi yang membantu. Salah satunya melalui sektor informal. Di sinilah kewirausahaan memainkan peranan penting. Mengembangkan kewirausahaan, di sisi yang lain juga tengah mengalami hal serupa: tidak ada kesamaan visi dan cetak biru yang memayunginya. Hampir semua lembaga kini selalu berteriak hal yang sama. Mereka mendukung penyebaran virus-virus kewirausahaan hingga ke ranah yang terkecil. Di banyak modifikasinya, kewirausahaan sesungguhnya juga diimplementasikan melalui program semacam PNPM Mandiri yang kini tengah gencar dipromosikan atau berbagai program pemberdayaan lainnya yang diselenggarakan oleh instansi pemerintahan atau berbagai LSM. Sekali lagi, di konteks mencari solusi atas masalah kita sendiri, kita juga mengalami hal yang sama: berpikiran egois. Pikiran sektoral inilah yang menjadikan kewirausahaan tak ubahnya masih berjalan di tempat. Bahkan, di banyak kasus, program yang selalu dilabeli pemberdayaan ini tak ubahnya hanya mengajarkan masyarakat marjinal kita untuk menjadi peminta-minta dana bergulir. Pertanyaannya: apakah ini akan kita teruskan? Tentu saja jawabannya tidak. Sungguh bodoh apabila kita terus membiarkan realitas ini terjadi. Tak ada jalan lain untuk mengantisipasi hal ini menjadi sebuah kebudayaan kontraproduktif baru di masyarakat kita. Kita harus memiliki cetak biru untuk pengembangan kewirausahaan. Cetak biru inilah yang tengah diujicobakan oleh JRU dengan dukungan Bank Indonesia, BP Dikjur, dan Kadin Jawa Tengah. Mengembangkan kewirausahaan tentu saja berkaitan erat dengan menciptakan sekumpulan orang yang bermental dan berkarakter wirausaha unggulan. Wirausaha memiliki konteks yang lebih luas ketimbang sekadar pedagang. Wirausaha harus memiliki visi yang lebih jauh ketimbang sekadar makelar. Inilah yang menjadi tugas berat saat ini. Mengapa? Ini semua karena di jenjang pendidikan formal kita selalui dijejali segala sesuatu yang sifatnya teoretis. Padahal, kewirausahaan ada di ranah sebaliknya: praktis dan berorientasi pasar. Semuanya hanya terjadi karena empat komponen tersebut berpadu. Bank Indonesia dan Kadin Jawa Tengah yang selama ini dikenal sebagai “menara gading” berkenan untuk memperhatikan kebutuhan kaum marjinal seperti ini: mendidik anak-anak kurang mampu menjadi pemilik usaha. Fasilitas dan sarana benar-benar disediakan oleh BP Dikjur Provinsi Jawa Tengah dengan percuma. Inilah yang menjadikan JRU sebagai konseptor dan operator dengan sangat yakin menjadikan program ini benar-benar gratis atau tidak berbayar sedikitpun. Pendidikan Wiramuda ini adalah formula kompilasi dari komitmen mereka semua. Pendidikan ini intinya adalah pendidikan bergembira-ria, menemukan jati diri, dan menempa mentalitas. Keempat lembaga tersebut selalu duduk sejajar dan berbagi tugas: menjadikan kader-kader ini sebagai wirausaha muda unggulan. Inilah sinergi ideal yang bila terus digelindingkan akan bisa memberikan warna khusus bagi terciptanya kader-kader wirausaha yang memiliki mentalitas dan karakter unggul. Alasannya sederhana: buat apa kita membiayai mereka yang mampu memiliki akses untuk menjadi wirausaha? Bukankah inti utama kelompok yang harus kita sentuh justru terletak di mereka yang tidak mampu? Inilah yang dicoba untuk dijawab oleh Pendidikan Wiramuda. Dengan kesatuan langkah tentunya. (Tulisan ini dapat juga dijumpai di Buletin Wiramuda edisi khusus Temu Wiramuda 2008)
Tidak ada komentar:
Silahkan isi komentar ...