Pertarungan Wacana

Wacana merupakan komunikasi, baik lisan maupun tulisan, yang disampaikan oleh seseorang atau kelompok orang kepada orang atau kelompok lain. Pesan yang ada di dalam komunikasi itu kemudian menjadi bahan perbincangan banyak orang, baik di percakapan sehari-hari, di radio, di koran, maupun di layar televisi. Tidak dapat dimungkiri, bahwa pertarungan wacana memang sangat mewarnai kehidupan modern yang demokratis ini. Barangsiapa memenangi pertarungan tersebut akan memenangi kompetisi. Di sinilah berlaku tesis Herbet Brucker bahwa komunikasi adalah kekuatan.

BANYAK definisi tentang wacana. Ahli bahasa, JS Badudu misalnya, menyebutkan wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya, menjadi satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Intinya, wacana merupakan komunikasi, baik lisan maupun tulisan, yang disampaikan oleh seseorang atau kelompok orang kepada orang atau kelompok lain. Pesan yang ada di dalam komunikasi itu kemudian menjadi bahan perbincangan banyak orang, baik di percakapan sehari-hari, di radio, di koran, maupun di layar televisi.

Nah! Kalau ditanya wacana yang sekarang paling hangat di negeri ini, saya yakin Anda akan menjawab pemilihan presiden dan penahanan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif, Antasari Azhar. Isu yang menarik tentang pemilihan presiden berkisar pada ”sindir-menyindir” antara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). Mengapa menarik? Karena, ”sindir-menyindir” itu terjadi antara dua orang pemimpin republik yang harus bersama-sama mengemban tugas kenegaraan sampai akhir masa jabatan mereka, Oktober 2009.

***

MENYINDIR, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah mengkritik atau menyatakan kesalahan orang tetapi menggunakan kata-kata kias, ibarat, perumpamaan; tidak terus terang. Jadi, kalau dikatakan SBY dan JK saling menyindir, maka itu berarti SBY dan JK saling menyalahkan tetapi secara tidak langsung, menggunakan kiasan atau pengumpamaan, yang dalam Bahasa Jawa disebut pasemon.

Bayangkan saja, sampai Oktober (berarti masih sekitar empat bulan lagi), bangsa ini dipimpin oleh presiden dan wakilnya yang hubungannya sedang ”memanas” dan saling menyalahkan. Salah satu sebabnya adalah keduanya akan saling berkompetisi dalam pemilihan presiden, Juli mendatang.

Dari sudut pandang positif, ”sindir-menyindir” itu merupakan pendidikan politik yang mendewasakan rakyat. Meskipun saling menyindir (JK menyatakan ”lebih cepat, lebih baik” dan selama ini sering menjadi bemper, sementara itu SBY mengatakan ”tidak baik berbangga diri dan menilai diri lebih baik”), namun keduanya tetap tampil bersama di depan publik dan sepakat untuk menyelesaikan tugas-tugas sampai akhir masa jabatan.

Sebaliknya, dari sudut pandang negatif, ”sindir-menyindir” itu sama sekali bukan merupakan pendidikan politik yang baik bagi rakyat. Saling menyindir hanya akan menciptakan suasana yang tidak kondusif dan berpotensi mengembangkan bibit-bibit kebencian.

Itulah pertarungan wacana antara SBY dan JK. Kedua pemimpin tersebut, beserta para pendukungnya, saling berlomba membentuk opini publik bahwa merekalah yang paling baik dan paling layak dipilih kembali.

Kasus Antasari Azhar tidak jauh berbeda, sekarang ini juga sedang berlangsung pertarungan wacana. Ada kelompok orang yang mengembangkan opini bahwa Antasari memang terlibat dalam pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnaen. Ada kelompok lain yang berusaha menciptakan pendapat bahwa Antasari hanyalah korban dari konspirasi yang menghambat langkah-langkah pemberantasan korupsi.
Begitu gencarnya media massa melansir pertarungan wacana itu, sehingga ada orang yang menyebut telah terjadi trial by the press. Media dituduh telah melakukan peradilan dengan caranya sendiri terhadap Antasari. Mana yang benar? Wallahua'lam bissawab.

***

PERTARUNGAN wacana (istilah ini saya kutip dari buku Politik Media dan Pertarungan Wacana karya Agus Sudibyo, 2001) dalam isu ”sindir-menyindir” SBY-JK dan kasus Antasari Azhar, menggambarkan proses komunikasi transaksional. Inilah paradigma baru dalam komunikasi yang sekarang ini sudah ”sangat gaduh” (over-crowded communication), ketika pesan (message) bertebaran di mana-mana dan diinterpretasikan sendiri-sendiri oleh tiap-tiap individu.

Dalam komunikasi multiarah yang tidak lagi bersifat transmisi itu, media menjadi senjata yang sangat ampuh dan dominan. Komunikasi menjadi lebih gaduh lagi, karena yang disebut media tidak lagi hanya media massa koran, radio, dan TV, melainkan juga media sosial misalnya facebook, yahoo messenger (YM), blog, bahkan juga short message services (SMS), dan sejenisnya.

Kuatnya pengaruh media dalam pembentukan opini publik menyebabkan para tokoh politik, tidak terkecuali SBY dan JK, harus cepat-cepat memberi konfirmasi terhadap informasi yang menyangkut mereka. Itulah sebabnya, ada orang yang kemudian menyebutnya sebagai ”pantun berbalas pantun”, yang sebenarnya tidak lain adalah salah-menyalahkan yang dikemas dalam kata-kata kiasan. Dalam kasus Antasari pun begitu. Lihat saja, betapa penasihat hukum Antasari dan penasihat hukum Nasrudin saling ”berbalas pantun” di televisi. Itulah pertarungan wacana. Tujuannya? Membentuk pendapat umum!

Tidak dapat dimungkiri, bahwa pertarungan wacana memang sangat mewarnai kehidupan modern yang demokratis ini. Barangsiapa memenangi pertarungan tersebut akan memenangi kompetisi. Di sinilah berlaku tesis Herbet Brucker bahwa komunikasi adalah kekuatan.

–– Adi Ekopriyono
Penulis dan Humanis
Tinggal dan berkarya di Semarang
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.