Sesama Indonesia

Sebagai bangsa, nampaknya kita memang kurang memiliki kecerdasan emosional (emotional quotion) dalam mengemas paham kebangsaan, etos nasionalisme. Wajar kalau beberapa pengamat berpendapat kita sedang dilanda erosi kebangsaan, krisis nasionalisme.

RELIGIOSENTRISME berkata "Aku orang beragama (apa pun agamanya) yang kebetulan berbangsa Indonesia." Etnosentrisme bilang "Aku orang Jawa (atau etnis-etnis yang lain) yang berbangsa Indonesia."

Egosentrisme berbisik "Aku ini Suto (atau nama yang lain) yang kebetulan berbangsa Indonesia." Humanisme berprinsip "Aku ini manusia, yang kebetulan dilahirkan sebagai bangsa Indonesia (atau bangsa yang lain)."
Nasionalisme bersikukuh "Aku adalah bangsa Indonesia, meskipun aku Jawa, Sunda, Batak, Minang, atau suku-suku yang lain. Aku Indonesia meskipun agamaku Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Konghucu, atau penganut aliran kepercayaan. Aku Indonesia, meskipun namaku Suto, Deden, Harahap, Hatta, atau siapa pun."

Bagi seorang nasionalis, Indonesia mendapat tempat terhormat dalam lubuk hatinya. Bagi religiosentris, agama paling penting. Bagi etnosentris, kesukuan nomor satu. Bagi egosentris, keakuan paling dibela. Bagi humanis, kemanusiaan paling dipertimbangkan.

***
Dalam konteks nasionalisme, sesama kita adalah sesama bangsa Indonesia. Bukan sesama etnis, bukan sesama agama, bukan sesama golongan. Itulah sebabnya, Indonesia menjadi dasar pertimbangan yang paling utama dalam pikiran, sikap, dan tindakan. Indonesia adalah kepentingan bersama yang paling diutamakan, lebih dari sekadar kepentingan etnis, golongan, agama, keakuan, meskipun harus pula mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Carut-marut, centang-perentang kondisi negeri ini, banyak dipengaruhi oleh persepsi kita tentang makna "sesama.'' Ada yang melihat sesama adalah orang-orang dari etnis yang sama. Ada yang bersikukuh bahwa sesama adalah orang-orang yang menganut agama yang sama. Ada pula yang berpandangan, sesama adalah sesama manusia, siapa pun mereka.

Persepsi yang berbeda-beda itulah, yang kemudian mendorong terjadi konflik. Orang yang tidak seetnis, tidak seagama, tidak segolongan dianggap bukan sebagai sesama, sehingga sah untuk dimusuhi, dibenci, bahkan dianiaya atau dibunuh. Indonesia, yang seharusnya menjadi perekat yang berada di atas berbagai "fanatisme sempit" itu, justru diabaikan.

Ibarat bahtera yang kita tumpangi bersama untuk mengarungi samudera kehidupan yang luas, Indonesia tidak kita rawat dengan baik. Kita malah lebih mementingkan sekoci kecil (bisa berupa etnis, agama, golongan, bahkan keakuan) untuk bersiap-siap menyelamatkan diri. Kita sering lupa, bahwa Indonesia ini dibangun dengan sangat susah payah, dengan perjuangan berdarah-darah, oleh para founding fathers.

Saya membayangkan betapa Indonesia berjaya kalau semua rakyatnya mempunyai persepsi sama, bahwa sesama kita adalah sesama bangsa Indonesia. Kita ini satu, bangsa Indonesia, meskipun dari etnis, agama, golongan, dan keakuan yang berbeda-beda. Nenek-moyang kita bilang: bhinneka tunggal ika. Sayang ya, kalau warisan leluhur yang benar-benar luhur itu sekarang sering kita lupakan.

***
ADA kecenderungan fanatisme sempit meningkat, sehingga makna "sesama" pun menyempit dan kita menjadi makin terkotak-kotak. Ibarat sapu lidi, yang semula kokoh oleh ikatan yang kuat, lidi-lidi itu mulai lepas dari ikatannya yang mulai mengendor. Secara teoretis, ikatan secara nasional meluntur karena menguatnya ikatan emosional keagamaan, etnis, golongan, dan keakuan. Begitu kuatnya ikatan emosional itu, sampai-sampai seorang teman bercanda: "Emosional is the best! Semua harus diselesaikan secara emosional."
Sebagai bangsa, nampaknya kita memang kurang memiliki kecerdasan emosional (emotional quotion) dalam mengemas paham kebangsaan, etos nasionalisme. Wajar kalau beberapa pengamat berpendapat kita sedang dilanda erosi kebangsaan, krisis nasionalisme.

Tarik-menarik dalam persepsi makna "sesama" akan menentukan nasib bangsa ini di masa depan. Kalau persepsi yang menang adalah "sesama" dalam bingkai fanatisme sempit maka tidak ada jaminan tentang masa depan yang lebih baik. Sebaliknya, kalau persepsi bahwa "sesama" adalah sesama bangsa Indonesia, maka masih ada harapan masa depan yang lebih cerah, lebih jaya.

Salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah membangun kebanggaan nasional. Ini menjadi tugas kita bersama. Tidak ada salahnya kita membangkitkan kredo right or wrong is my country, karena bangsa-bangsa lain pun menerapkan semangat ini untuk menghadapi era global.
Kita sesama bangsa Indonesia yang bersatu, yang tidak goyah oleh "fanatisme sempit" model apa pun.

Indonesia yes! Fanatisme sempit, no! (11)

Adi Ekopriyono
Penulis dan Humanis
Tinggal dan berkarya di Semarang
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.