Indonesia 3.0

Saya juga setuju, bahwa Indonesia 3.0 adalah Indonesia yang harus berlomba-lomba mengembangkan produktivitas dan kreativitas dengan basis yang kuat dalam nilai-nilai. Itu artinya, produk-produk yang kita hasilkan haruslah berorientasi kepada mutu. Kreativitas yang kita bangun harus mengarah kepada peningkatan kualitas. Tapi masalah itu tidak sepele, karena menurut beberapa penelitian, kebanyakan orang Indonesia tidak berorientasi kepada mutu.

JUDUL tulisan ini saya kutip dari working paper yang disajikan Indonesia Marketing Association (IMA) dalam acara "Prof Philip Kotlerís Public Institutional Dinner Night" di Jakarta, 7 Agustus lalu. Kebetulan saya datang di acara yang diisi presentasi pakar pemasaran dunia Philip Kotler dan dihadiri Wapres Jusuf Kala tersebut.

Dalam working paper itu disebutkan, Indonesia 1.0 terjadi pada 1945 sampai 1965 ketika pertanian menjadi tulang punggung ekonomi. Indonesia 2.0, terjadi pada 1967 sampai 1997 ketika industri menjadi tulang pungung ekonomi. Indonesia 3.0 adalah era Indonesia 2005 sampai 2025. Itu adalah era sosial budaya yang ditandai dengan persaingan produktivitas dan kreativitas, dikendalikan oleh teknologi informasi-komunikasi. Pada 2025, diprediksi Indonesia sudah mandiri, maju, adil, dan makmur; dan 2030 sudah menjadi negara maju yang unggul dalam pengelolaan kekayaan alam.
Penahapan itu, mengadopsi pemikiran futurolog Alvin Toffler yang membagi peradaban manusia dalam tiga gelombang perekonomian, yaitu pertanian, industri, dan informasi. Gelombang ketiga dikenal dengan kredo "informasi adalah kekuatan. Barang siapa menguasai informasi, akan menggenggam dunia".

Membaca working paper itu dan mendengar presentasi Philip Kotler tentang nation marketing (pentingnya pemasaran bagi negara yang ingin menang dalam persaingan global), saya teringat pernyataan almarhum Nurcholish Madjid. Cendekiawan muslim itu mengungkapkan, kendala pembangunan masyarakat Indonesia adalah kesenjangan peradaban. Masih ada sebagian masyarakat yang hidup dengan peradaban pertanian, sebagian industri, sebagian lagi sudah informasi. Jadi, tiga gelombang versi Toffler itu semuanya ada di Indonesia pada saat bersamaan.

Kesenjangan tersebut merupakan tantangan internal yang tidak ringan dalam pengembangan masyarakat menuju kultur yang baru untuk membangun peradaban masa depan (creating new culture for building next civilization). Tantangan eksternal berupa penetrasi budaya asing yang dibawa arus globalisasi.

* * *
SAYA setuju Indonesia 3.0 adalah era sosial budaya. Itulah sebabnya, secara ideal pembangunan masyarakat pun dilandasi dengan penguatan sosial budaya lokal. Kreativitas yang didorong oleh teknologi informasi-komunikasi tidak boleh memperkeruh atau merusak sendi-sendi sosial budaya tersebut.
Boleh saja kita mengembangkan atau menggunakan teknologi secanggih apa pun, namun jangan sampai teknologi justru memperlemah nilai-nilai (values), jejaring (networking), dan kepercayaan (trust) yang selama ini sudah menjadi modal sosial. Begitu pula, jangan sampai teknologi justru menggerogoti budaya-budaya lokal yang sebenarnya merupakan kekayaan bangsa ini.
Prediksi Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur pada 2025 tidak akan terwujud kalau teknologi tidak diterapkan untuk memperkuat bangunan sosial budaya. Kita layak belajar dari kegagalan pembangunan di berbagai negara yang selama ini kurang memperhatikan faktor sosial budaya lokal. Sebaliknya, kita harus memperkuat sosial budaya, karena keduanya merupakan elemen penting dalam pembangunan citra bangsa (nation image building) di mata internasional.

Saya juga setuju, bahwa Indonesia 3.0 adalah Indonesia yang harus berlomba-lomba mengembangkan produktivitas dan kreativitas dengan basis yang kuat dalam nilai-nilai. Itu artinya, produk-produk yang kita hasilkan haruslah berorientasi kepada mutu. Kreativitas yang kita bangun harus mengarah kepada peningkatan kualitas. Tapi masalah itu tidak sepele, karena menurut beberapa penelitian, kebanyakan orang Indonesia tidak berorientasi kepada mutu.

* * *
DALAM konteks itulah, maka sangat penting menempatkan sosial budaya lokal sebagai landasan kokoh bagi pembangunan peradaban masa depan. Bukan sosial budaya yang sudah sangat terkontaminasi oleh gempuran budaya-budaya asing yang masuk melalui wajah "pembangunisme" yang kapitalistis.
Bangsa-bangsa yang maju dan berhasil dalam untaian nilai-nilai global, justru bangsa-bangsa yang kokoh secara sosial budaya lokal mereka. Jepang adalah salah satu contoh; tetap mempertahankan, bahkan memanfaatkan kekuatan lokal itu untuk bersaing.

Salah satu kekuatan itu, oleh Francis Fukuyama disebut trust. Ingin contoh yang lebih dekat? Bali! Pulau Dewata itu pun go international dengan landasan kekuatan lokal.

Nah! Apakah pada usia ke-62, Indonesia tetap akan mengabaikan unsur sosial budaya dalam pembangunan masyarakatnya? Apakah kita masih melanjutkan gaya sebagai orang yang kagetan dan gumunan menghadapi arus globalisasi? Kalau jawabnya "ya", maka Indonesia 3.0 tidak akan mencapai cita-cita mandiri, maju, adil, dan makmur.

Sudah saatnya, bangsa ini bangkit berlandaskan kekuatan sosial budaya lokal. Seperti bangkitnya Mbah Maridjan yang etos lokalnya tidak luntur oleh kemajuan teknologi. "Rosa, rosa...!"

Oke! Dirgahayu Indonesiaku! Merdeka! (68)

Adi Ekopriyono
Penulis dan Humanis
Tinggal dan berkarya di Semarang
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.