Mampirlah Beli Beras!
Tak terhitung saya menerima telepon istri, tak terhitung saya berceramah. Artinya, ceramah dan terima telepon istri itu soal biasa dalam hidup saya. Tak terhitung pula saya bertelpon istri sehabis atau sebelum ceramah. Artinya itu juga soal biasa. Tapi telepon istri tepat ketika saya ceramah yang ini lain sekali akibatnya. Akibat itulah yang hingga kini tak pernah saya lupa.
Saat itu, saya sedang berceramah untuk sebuah holding company, dihadiri lapis manajer, CEO dan pemilik-pemilik perusahaan. Sebuah selebrasi puncak dengan sayalah pengisi acara utamanya. Sudah tentu saya diperlakukan dengan segenap rasa hormat, apalagi ketika tugas itu dengan baik saya tuntaskan, forum itu lalu menganggap saya sebagi bintang. Pokoknya, saat itu, saya memiliki seluruh modal untuk menjadi besar kepala. Pada saat itulah istri saya bertelepon dan katanya, "tolong, nanti kalau sempat, pulangnya sekalian beli beras ya, Say!".
Permintaan itu khas itsri saya, penuh rasa hormat dan mesra. Tetapi semesra apapun nadanya, saya pasti boleh merasa terhina. Apa jadinya jika audiens mengerti bahwa bintang di hadapannya ini harus pulang sambil menenteng beras eceran? Saya pernah pula ceramah di hadapan anak-anak muda dan mahasiwa. Di antaranya ada seorang yang tampak sangat memuja. Tapi anak muda inilah yang sejenak kemudian harus kaget setengah mati, ketika sepulang dari seminar ia menyalip saya dengan mobilnya, sambil mendapati saya yang sedang bermotor sambil belepotan melawan hujan. Saya mengerti sorot matanya yang tidak cuma kaget tapi juga kecewa. "Oo penceramah yang saya kagumi ini ternyata orang miskin," begitu mungkin kata hatinya.
Maka permintaan istri itu rasanya sungguh tidak tepat waktu. Untung saja, sebelum terhina, perasaan berikut inilah yang lebih dulu datang di benak saya: pertama, saya mencintainya. Seluruh permintaan paling aneh sekalipun kalau ia datang dari orang tercinta, ia akan kita sambut gembira. Kedua, pada dasarnya saya memang orang yang mudah tertawa. Melihat permintaan salah konteks semacam ini, membuat saya tergelak tanpa sengaja. "Baru ini selebriti beli beras," kata saya di ujung telepon sambil tergelak. Bayangan istri dan anak-anak malah menerbitkan keinginan saya untuk segera pulang dan di rumahlah tersedia panggung seminar yang sesungguhnya.
Ketiga, ini yang terpenting, panggung publik adalah dunia yang sangat menyenangkan sekaligus sangat berbahaya. Pembintangan kepada seseorang itu, sungguh malah menimbulkan bermacam-macam persoalan bagi orang itu, yang sejatinya tak lebih dari orang-orang biasa, tak terkecuali saya. Tapi panggung adalah dunia yang kejam, yang memaksa orang biasa menjadi seolah-olah luar biasa. Ia diajak potret bersama, dimintai tanda angan, ditepuki, dikerubut wartawan. Cuma kedapatan ganti model rambut saja sudah bikin geger dan menjadi headline di sekujur koran. Akibatnya, si orang biasa ini benar-benar merasa dirinya sebagai luar biasa. Ke mana-mana jubah keluarbiasaan itu menggelayutinya, memberatkan hidupnya dan panjang sekali daftar orang biasa yang rusak hidupnya karena keluarbiasaan yang dicangkok paksa.
Maka permintaan istri itu sungguh mengembalikan saya pada habitat yang sesungguhnya. "Jika sempat, mampirlah untuk membeli beras!" katanya, yang terus mendengung di telinga. Perintah itu kemudian saya jalani dengan semangat penuh. Ia mengembalikan lagi ke masa kanak-kanak saya, ketika cuma se-beruk (setempurung kelapa), rasanya hampir setara dengan serantai emas harganya. Kami adalah keluarga pemakan nasi gaplek, dan cuma ketemu nasi beras di kesempatan-kesempatan ajaib saja. Dari sebuah mini market, saya mengambil sebungkus plastik beras itu, menimangnya, memandanginya berlama-lama dan beras itu seperti mengulang kata-kata yang tak sempat diucapkan istri tapi saya menangkap jelas apa maksudnya: "Bahwa kamu sejatinya adalah manusia biasa saja!"
- Prie GS, Budayawan, Penulis beberapa Buku Best Seller -
Saat itu, saya sedang berceramah untuk sebuah holding company, dihadiri lapis manajer, CEO dan pemilik-pemilik perusahaan. Sebuah selebrasi puncak dengan sayalah pengisi acara utamanya. Sudah tentu saya diperlakukan dengan segenap rasa hormat, apalagi ketika tugas itu dengan baik saya tuntaskan, forum itu lalu menganggap saya sebagi bintang. Pokoknya, saat itu, saya memiliki seluruh modal untuk menjadi besar kepala. Pada saat itulah istri saya bertelepon dan katanya, "tolong, nanti kalau sempat, pulangnya sekalian beli beras ya, Say!".
Permintaan itu khas itsri saya, penuh rasa hormat dan mesra. Tetapi semesra apapun nadanya, saya pasti boleh merasa terhina. Apa jadinya jika audiens mengerti bahwa bintang di hadapannya ini harus pulang sambil menenteng beras eceran? Saya pernah pula ceramah di hadapan anak-anak muda dan mahasiwa. Di antaranya ada seorang yang tampak sangat memuja. Tapi anak muda inilah yang sejenak kemudian harus kaget setengah mati, ketika sepulang dari seminar ia menyalip saya dengan mobilnya, sambil mendapati saya yang sedang bermotor sambil belepotan melawan hujan. Saya mengerti sorot matanya yang tidak cuma kaget tapi juga kecewa. "Oo penceramah yang saya kagumi ini ternyata orang miskin," begitu mungkin kata hatinya.
Maka permintaan istri itu rasanya sungguh tidak tepat waktu. Untung saja, sebelum terhina, perasaan berikut inilah yang lebih dulu datang di benak saya: pertama, saya mencintainya. Seluruh permintaan paling aneh sekalipun kalau ia datang dari orang tercinta, ia akan kita sambut gembira. Kedua, pada dasarnya saya memang orang yang mudah tertawa. Melihat permintaan salah konteks semacam ini, membuat saya tergelak tanpa sengaja. "Baru ini selebriti beli beras," kata saya di ujung telepon sambil tergelak. Bayangan istri dan anak-anak malah menerbitkan keinginan saya untuk segera pulang dan di rumahlah tersedia panggung seminar yang sesungguhnya.
Ketiga, ini yang terpenting, panggung publik adalah dunia yang sangat menyenangkan sekaligus sangat berbahaya. Pembintangan kepada seseorang itu, sungguh malah menimbulkan bermacam-macam persoalan bagi orang itu, yang sejatinya tak lebih dari orang-orang biasa, tak terkecuali saya. Tapi panggung adalah dunia yang kejam, yang memaksa orang biasa menjadi seolah-olah luar biasa. Ia diajak potret bersama, dimintai tanda angan, ditepuki, dikerubut wartawan. Cuma kedapatan ganti model rambut saja sudah bikin geger dan menjadi headline di sekujur koran. Akibatnya, si orang biasa ini benar-benar merasa dirinya sebagai luar biasa. Ke mana-mana jubah keluarbiasaan itu menggelayutinya, memberatkan hidupnya dan panjang sekali daftar orang biasa yang rusak hidupnya karena keluarbiasaan yang dicangkok paksa.
Maka permintaan istri itu sungguh mengembalikan saya pada habitat yang sesungguhnya. "Jika sempat, mampirlah untuk membeli beras!" katanya, yang terus mendengung di telinga. Perintah itu kemudian saya jalani dengan semangat penuh. Ia mengembalikan lagi ke masa kanak-kanak saya, ketika cuma se-beruk (setempurung kelapa), rasanya hampir setara dengan serantai emas harganya. Kami adalah keluarga pemakan nasi gaplek, dan cuma ketemu nasi beras di kesempatan-kesempatan ajaib saja. Dari sebuah mini market, saya mengambil sebungkus plastik beras itu, menimangnya, memandanginya berlama-lama dan beras itu seperti mengulang kata-kata yang tak sempat diucapkan istri tapi saya menangkap jelas apa maksudnya: "Bahwa kamu sejatinya adalah manusia biasa saja!"
- Prie GS, Budayawan, Penulis beberapa Buku Best Seller -