Emosi

EMOSI adalah reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitasnya berkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Emosi adalah hasil reaksi kognitif terhadap situasi spesifik. Emosi merupakan hasil proses persepsi terhadap situasi.

Itulah pendapat JP Du Preez, pengajar senior di Potchefstroom University, Afrika Selatan, seperti dikutip Anthony Dio Martin (Emotional Quality Management, 2003: 91). Kalau seseorang memersepsikan situasi yang menimpa dirinya sebagai akibat dari perbuatan orang lain, maka ia akan marah, meskipun belum tentu orang lain itu berbuat salah terhadapnya. Kalau mempersepsikan situasi itu sebagai akibat dari perilakunya sendiri, maka ia akan melakukan introspeksi atau mawas diri. Mengacu kepada definisi Du Preez itu, maka emosi manusia berkait dengan tiga aspek penting, yaitu persepsi, pengalaman, dan proses berpikir, yang bisa membuat seseorang mudah marah, menuduh, bahkan memfitnah. Sebaliknya, tiga aspek itu bisa membuat seseorang tenang-tenang atau santai-santai saja menghadapi situasi seperti apa pun. Menurut referensi, secara fisiologis emosi terdapat pada salah satu bagian dari sistem limbik, yaitu otak kecil di atas tulang belakang, di bawah tulang tengkorak. Sistem tersebut memiliki tiga fungsi, yaitu mengontrol emosi, seksualitas, dan pusat-pusat kenikmatan, yang merupakan hal paling penting dalam perkembangan otak. Kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan mengelola emosi merupakan faktor penentu keberhasilan atau kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan. *** DALAM kehidupan masyarakat Jawa, emosi itu penting; antara lain tampak dalam pola pikir inward looking, bukan outward looking. Maknanya, kalau ada situasi yang menimpa, maka reaksi awal yang muncul adalah melihat diri sendiri; introspeksi apa yang telah dilakukan, yang mungkin menjadi penyebab. Dikenallah istilah-istilah umpan papan, angon wektu, ngemong rasa, mulat sarira, dan seterusnya. Mawas diri merupakan bagian dari pengelolaan diri khas Jawa, dalam rangka self examination, self control, self assesment, self monitoring. Budaya Jawa mengacu kepada ”rasa” (lebih dalam dari sekadar perasaan), tidak mengabaikan intuisi selain juga bersandar kepada pikiran (rasio). Intuisi —menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)— adalah daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati. Ilmuwan-ilmuwan besar —Henri Pincare, misalnya— mengatakan bahwa ia sering memecahkan masalah justru secara intuitif, ketika sedang bersantai dan sama sekali tidak memikirkan masalah tersebut. Intuisi datang bagaikan bersitan terang yang hanya terjadi sekejap mata. Tinjauan filosofis Charles Sanders Peirce (1839-1914) juga tidak mengabaikan intuisi sebagai faktor penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Karena intuisi itu penting, maka ajaran Jawa selalu menganjurkan manusia tidak grusa-grusu (tergesa-gesa) dan rendah hati dalam mengambil simpulan. Ya, seperti disebut dalam Wulangreh karya Pakubuwono IV: Dipun sami ambanting sariranira/ cegah dhahar lan guling/ darapon sudaa/ nepsu kang ngambra-ambra/ rerema ing tyasireki/ dadi sabarang/ karsanira lestari. Intinya, kurangilah makan dan tidur, bersikaplah rendah hati, agar marah tidak meledak-ledak, segala sesuatu kehendak menjadi lestari. *** BERBAGAI persoalan yang muncul belakangan ini banyak berkaitan dengan masalah manajemen emosi. Ada kecenderungan kita makin tidak cerdas dalam mengelola emosi, tidak pintar mengendalikan persepsi, pengalaman, dan proses berpikir. Kita mempunyai telinga tapi tidak mendengar, dan memiliki mata tapi tidak melihat. Kita hanya mendengar yang ingin kita dengar dan melihat yang ingin kita lihat. Akibatnya, di Sumatra Utara ada Ketua DPRD meninggal karena didemo. Di Solo ada dua pemain sepak bola berkelahi di lapangan lalu ditahan polisi. Ada juga presiden marah, karena ketika berpidato beberapa orang yang seharusnya mendengar malah mengantuk. Seorang tokoh partai mengomentari partai lain hanya akan meraih sedikit suara dalam pemilihan umum (pemilu) mendatang, kemudian petinggi partainya minta maaf. Sebaliknya, ada mantan presiden selalu berkomentar santai terhadap bermacam situasi, dengan mengatakan ”gitu saja kok repot”. Emosi memang tidak pandang bulu, bisa menimpa siapa saja. Semua bergantung kepada persepsi, pengalaman, dan proses berpikir tiap-tiap orang. Lewat tulisan ini saya menawarkan kearifan lokal Jawa yang inward looking itu, kekayaan bangsa yang harus kita pelihara dan kembangkan. Pesannya adalah, kalau menghadapi situasi tertentu janganlah cepat-cepat melihat keluar, tapi lihatlah diri sendiri lebih dulu. Bukankah pesan tersebut sangat relevan ketika masyarakat dihadapkan kepada situasi spesifik menghadapi pemilu dan perekonomian yang tidak menentu? Insya Allah, kearifan lokal itu bisa menghindarkan kita dari saling menyalahkan, saling tuduh, saling menjatuhkan, saling fitnah, dan semacamnya. Ana rembug dirembug, ana nalar dinalar. 

Adi Ekopriyono
Penulis dan Humanis
Tinggal dan berkarya di Semarang
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.