Filosofi Mendengarkan

Inti dari filosofi mendengarkan adalah sebuah kemauan dari persona untuk membuka peluang masuknya informasi lain ke dalam dirinya. Entah informasi ini nanti akan berguna atau tidak, setidaknya dengan mendengarkan saja kita telah belajar selangkah dari apa yang kita hadapi saat ini. Dan inilah yang menjadi penutup dan awal dari sebuah pelajaran besar untuk meraih kesuksesan.

Mendengarkan. Tiba-tiba saja kata ini menjadi begitu penting ketika kita mengaitkan dinamika hidup kita akhir-akhir ini. Dorongan perkembangan intelegensia per kapita, kesempatan bersosialisasi yang semakin luas, ditambah dengan budaya kebebasan atas nama demokrasi yang saat ini kita akrabi membuat kita menjadi semakin terbudaya sebagai “pembicara” atau komunikator. Setiap hari, kita selalu membawa pesan tertentu yang hendak kita sebarkan ke seluruh penjuru dunia, jika bisa. Status di Facebook, Twitter, hingga berbagai kolom komentar yang kini berserak di hampir seluruh media merupakan sebuah indikasi jika kita semakin dirangsang untuk berbicara. Ya, inilah zaman di mana interkonektivitas kerap kali dikaitkan dengan kuantitas bicara, tidak sekadar kualitasnya. Semakin banyak bicara satu persona, semakin terhubunglah dia dengan berbagai kemungkinan.

Tetapi, itu semua tentu saja tidak pernah mengalahkan suatu kekuatan yang menjadi dasar atas kekuatan pesan. Pesan yang kita sampaikan tentu saja tidak akan pernah lepas dari kekuatan yang satu ini. Melalui proses inilah, kita mendapatkan kode-kode pesan untuk kemudian kita pesankan ulang ke khalayak yang kita miliki. Kekuatan itu adalah mendengarkan. Anehnya, kekuatan ini menjadi semakin kabur di tengah dinamika kehidupan kita. Orang semakin tergoda hanya untuk berbicara, tanpa mengimbanginya dengan “utang” mendengarkan. Hasilnya, pesan-pesan bermunculan dengan riuh dan semakin tinggi frekuensi terpaannya. Inilah situasi “chaos” informasi yang bagi para cendekiawan merupakan situasi di mana perekayasaan pesan menjadi semakin penting dilakukan. Informasi tidak hanya murni mewartakan fakta, tetapi juga mengandung maksud-maksud tertentu yang tak jarang sarat dengan nilai.

Pada suatu kelas pemasaran, seorang dosen senior kembali mengingatkan partisipan kelasnya untuk kembali ke filosofi mendengarkan. Dosen tersebut kemudian dengan terampil menceritakan berbagai cerita pemasaran sukses yang didasari atas filosofi mendengarkan. Berbagai disiplin riset pemasaran telah beredar, dan kini sukses pemasaran tidak pernah tidak terlepas dari hasil riset pemasaran yang dilakukan dengan rapi dan akurat. Sesungguhnya, itu adalah sebuah penegasan atas filosofi mendengarkan ini. Inti dari filosofi mendengarkan adalah sebuah kemauan dari persona untuk membuka peluang masuknya informasi lain ke dalam dirinya. Entah informasi ini nanti akan berguna atau tidak, setidaknya dengan mendengarkan saja kita telah belajar selangkah dari apa yang kita hadapi saat ini. Dan inilah yang menjadi penutup dan awal dari sebuah pelajaran besar untuk meraih kesuksesan. Begitu setidaknya alam telah menunjukkannya kepada kita.

Kekuatan mendengarkan inilah yang saat ini justru menjadi sebuah pelajaran baru yang layak kita konsumsi kembali. Mendengarkan berarti menyediakan kesempatan kepada orang lain untuk bergiliran berbicara. Mendengarkan berarti memaksa kepada diri kita untuk mencerna maksud pembicaraan orang lain dengan lebih seksama. Mendengarkan berarti memberikan kesempatan kepada diri kita untuk belajar dalam keheningan, bukan saja dalam keriuhan. Inilah sebuah proses kontempelasi urban yang sesungguhnya adalah esensi kehidupan yang setara dengan berbicara. Selamat mendengarkan!

Adhimmas Nugroho
Relawan JRU
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.