Kaos Beribu Jarum

Di masa kecil saya, di saat papan, pangan dan pakaian masih sulit dan mahal, saya memikiki kaos kesayangan, satu-satunya kaos terbaik yang saya punya. Suatu kali, ketika sedang memakai kaos ini, saya keliru mencari teman bermain, yakni teman yang lebih tua dan bukan seangkatan saya. Kami bermain gulat dan perang-perangan. Saya lupa detailnya, tetapi permainan itu memanas, walaupun statusnya masih bercanda tetapi secara faktual kami telah berkelahi dalam pengertian sebenarnya.

Seorang anak benar-benar menempatkan saya sebagai target. Saya ditelikung dan kaos saya dilepas paksa. Walau keadaan memang telah memanas, saya masih berharap, bahwa sesungguhnya kami masih bercanda. Dan pelepasan kaos ini hanyalah bahwa tanda akhir dari permainan dan kami kembali berteman. Dugaan saya keliru. Anak itu menenteng kaos saya menuju sebuah semak tempat tanaman sejenis ilalang dengan bunga, atau mungkin buah serupa jarum.

Kami orang-orang desa akrab dengan tanaman jarum ini, karena itulah jarum yang senantiasa menancap di pakaian kami ketika semak itu kami lewati. Hanya lewat tak sengaja, jarum-jarum itu telah sengit menancapi pakaian kami dan butuh waktu ekstra untuk membersihkannya. Dan anak itu, tak cuma melewati semak ini tetapi menyabetkan kaos ke semak ini. Saya berteriak sekuat tenaga untuk mencegah. Dengan teriakan yang nyaris kehilangan suara itu, saya kira akan cukup menghentikan aksinya. Dan saya salah. Anak itu terus melampiaskan amarahnya sedemikian rupa. Kaos saya dihajar sedemikian lupa sampai serupa gumpalan handuk berduri. Saya bukan cuma kehilangan suara, tetapi juga hampir kehilangan kesadaran. Anak itu menyerahkan kaos ini sambil
menyeringai puas. Saya melangkah pulang sambil bibir saya bergerak hebat tanpa pernah saya gerakkan. Itulah tanda-tanda kemarahan hebat, sekaligus ketidak berdayaan hebat. Kami sekeluarga berkerumunan untuk mencabuti ribuan duri ini. Tapi percuma. Kaos ini terlalu hancur untuk bisa diselamatkan.

Ini adalah salah satu pengalaman kelam yang terpatri dalam ingatan. Pelajarannya adalah betapa fana apa yang disebut barang kesayangan itu. Suatu kali, suka atau terpaksa harus dilepaskan. Berat melepas barang kesayangan, tetapi lepas adalah keniscayaan. Kedua, mewaspadai perkembangan persoalan, bahwa permainan paling menyenangkan pun bisa berubah jadi pertengkaran. Ketiga, mewaspadai bahwa ada potensi permusuhan di dalam pertemanan dan ada naluri berteman di dalam permusuhan.

Prie GS
Budayawan, Motivator, Penulis Buku Best Seller
Tinggal di Semarang

Tidak ada komentar:

Silahkan isi komentar ...

Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.