Membangun (Kembali) Keberanian

Pengantar Redaksi :
Keberanian memang menjadi tuas utama dalam kesuksesan. Termasuk di dalamnya sukses melalui resesi ekonomi kali ini. Tulisan dari sahabat berikut ini semoga mengingatkan kita kembali. Semoga bermanfaat!

Di suatu pagi yang cerah, saya mengawali hari dengan membuka akun surat elektronik. Ada satu pesan dari seorang karib yang menjadi dosen di salah satu universitas di tanahnya Barack Obama. Isinya cukup singkat : memberitakan kepada saya untuk memberitahukan kepada kakak yang tengah berupaya untuk mencari program studi doktoral di negara tersebut. Alasannya jelas : untuk bermukim dalam waktu yang lama, akan menjadi sebuah perjuangan yang berat untuk bisa hidup wajar. Karib yang menjadi profesor tersebut sendiri menceritakan jika di negara tersebut setiap harinya ada berita PHK dan orang-orang mulai bertebaran di jalan untuk mencari pekerjaan.

Kafe dan kedai makan kecil yang selama ini menjadi “surga” bagi para mahasiswa Asia yang menjalani pekerjaan paruh waktu mulai memberlakukan skema prioritas. Para pemilik kafe dan kedai mulai memberikan kesempatan kepada mahasiswa bule atau bahkan para pekerja yang terkena PHK untuk bekerja. Alasan mereka cukup simpel, nasionalisme. Mereka harus mendahulukan saudaranya terlebih dulu, ketimbang harus mempekerjakan mahasiswa Asia.

Kabar yang kembali tidak mengenakkan datang dari kawan yang tengah menyelesaikan pendidikan magister di Sheffield, Inggris Raya. Walaupun Inggris belum menyatakan diri masuk ke dalam resesi ekonomi, tetapi ekses dari itu semua sudah tampak. RBS, salah satu insitusi –keuangan terbesar mereka yang baru saja mengakuisisi ABN-Amro BV mengumumkan akan mengurangi pekerja sebagai konsekuensi akuisisi yang membuat arus kas mereka negatif. Berbagai program penjaminan sosial juga mulai ditinjau ulang untuk mengamankan kas negara dari kebangkrutan bila tiba-tiba badai resesi ekonomi menghantam negerinya Pangeran Charles tersebut.

Berita di beberapa harian terbitan domestik juga mendeskripsikan jika masyarakat di belahan dunia sana tengah berupaya bertahan di tengah gempuran resesi yang diawali dari Wall Street tersebut. Sungguh lengkap kabar kurang menyenangkan tersebut yang datang di pagi hari. Untung roti tawar bakar, susu hangat, dan koneksi internet yang lancar (padahal biasanya membuat sesak napas) membuat pagi hari saya tersebut masih cukup menyenangkan untuk ukuran saya.

Sidang pembaca yang terhormat,

Harus kita akui bersama jika resesi ekonomi global tengah menyapa kita. Bila Indonesia belum terkena dampaknya, dalam pikiran saya, itu hanya tinggal menunggu waktu saja. Dalam sebuah hegemoni perekonomian yang didukung perkembangan geoekonomi yang masih sentralistik, kita tidak akan bisa menghindari resesi tersebut. Tugas kita bersama hari ini adalah : menyiapkan fundamental kita untuk bisa meminimalisasi dampaknya. Dan, tampaknya kita harus bersyukur memiliki ekonom yang cukup canggih sekaliber Sri Mulyani Indrawati dan Boediono yang kini tengah bertugas menjaga sistem perekonomian kita tetap “kalis krisis” meskipun pemerintahan memasuki masa kritis pra-Pemilu.

Bukan urusan kita memang untuk turut berkerut dahi memikirkan bagaimana harus menstabilkan mata uang kita dan menjaga cadangan devisa. Tugas kita yang menjadi pejuang ekonomi di tataran riil adalah bagaimana menjaga “cash flow” perusahaan tetap dalam kondisi yang sehat dan gaji bulanan karyawan tetap terbayarkan pada waktunya. Bertahan, “wait and see” mungkin itu yang menjadi lagu wajib kita hari-hari ini. Di satu sisi, itu memang betul dan harus dilakukan di saat ini tetapi di sisi yang lain bukan saatnya kita untuk terus bertahan dan mengamati situasi. Inilah momentum kita untuk membangun (kembali) keberanian.

Lho kok? Itu yang diutarakan seorang teman yang bisnisnya baru saja terhantam resesi karena order pernak-perniknya yang sedianya akan dikirimkan ke AS harus tertunda sampai saat yang belum ditentukan. Ya, saya menyampaikan kepada teman yang tengah membuktikan menjadi wirausaha adalah pilihan tepat usai mengenakan toga, ketika dirinya sudah 10 bulan ini terlena dalam kenyamanan karena memiliki order bulanan yang pasti, pasti ada celah yang akan membuat bisnisnya yang baru saja itu membangun sebuah fundamental yang salah. Fundamental bisnis di atas kenyamanan. Mengawali bisnis (termasuk mengembangkannya) dengan kenyamanan adalah musuh. Mengapa musuh? Karena kenyamanan itulah yang membuat kita menjadi tidak kreatif dan dinamis. Ada sebuah pepatah bisnis konservatif : “only the paranoid can will survive!” Bila kita merasa nyaman, sangat susah bagi kita membangun sebuah paranoiditas karena segalanya tersedia dan cukup dipelihara.

Anggukan kepala datang darinya. Bila pasar Barat sedang mengamuk, apakah pasar di Timur Tengah juga mengalami hal yang sama? Apakah pasar dalam negeri juga tidak menyisakan celah yang bisa digarap? Itu baru soal pasar. Soal peningkatan kualitas dan efisiensi kerja juga bisa digarap. Pengurangan order bagaimanapun juga akan membuat kita memikirkan ulang sejauh mana sistem yang selama ini berjalan mampu mendukung operasional usaha yang harus selalu dibangun di atas prinsip efisiensi. Apakah kita sudah terlalu percaya diri untuk tidak menyisihkan sebagian laba sebagai laba ditahan? Ya, hal tersebut yang hanya akan datang ketika kondisi krisis datang menghantam operasional usaha kita.

Di sisi yang lain, dengan kenyamanan yang sudah terbangun beberapa saat, kita juga mungkin tersadar jika membaca (bukan hanya buku tentu saja!) adalah medium untuk tetap menjaga kita “keep on track” dan menambah kapasitas pribadi kita sebagai seorang wirausaha. Ketika order tiba-tiba menghilang dan kita terpikir untuk membuat sebuah terobosan, membaca dalam artian luas tentu saja harus dilakukan agar produk / inovasi yang kita lakukan tidak salah sasaran. Membaca, bagaimanapun juga akan membuat kapasitas kita semakin meningkat. Ini adalah hikmat dari pembelajaran yang dilakukan di sekolah kehidupan.

Ada sebuah teladan yang saya dapat dari orang yang sudah mengajarkan banyak hal kepada saya. Ketika semuanya menuju ke hal-hal yang kurang positif, itu adalah saatnya membenamkan diri ke banyak hal. Hari-hari belakangan, waktunya dihabiskan untuk membangun sebuah obsesi baru. Perjalanan luar kota yang masif, jadwal yang padat merayap, dan sederet aktivitas tengah dilakukannya. 

Bagi saya, hal tersebut adalah sebentuk optimisme yang tetap terpancar. Optimisme yang terbangun justru di saat banyak orang mulai menjadi pesimis. Ada satu hal yang tengah saya pelajari terus : keinginannya untuk bergerak terus mengoptimalkan suatu hal adalah mutlak dilakukannya di waktu orang lain belum menyadarinya. Sehingga ketika banyak orang sudah menyadari suatu hal itu bermanfaat secara optimal, kita yang sudah siap dengan pemahaman komprehensif sudah bisa melangkah dalam kecepatan bergerak yang tinggi. Hasilnya, apa lagi jika ancaman untuk sukses! Jika obsesinya kali ini berhasil, di saat orang lain tengah berkarya untuk berproduksi, dirinya menargetkan sudah mampu menggaet klien potensial dan jangka panjang untuk menjaga kontinuitas usaha.

Nah, intinya kembali lagi pada keberanian kita. Beranikah kita untuk tetap bergerak? Bertahan memang pilihan tepat, tetapi bukan yang terbaik. Ketika kita tetap berani bergerak, ada sebuah kehidupan yang menghampiri kita. Ya, kehidupan memang harus diupayakan karena dia tidak hanya sekadar hidup: bernapas, makan-minum, dan membuang hajat. Berani untuk belajar, berani untuk berinovasi, dan berani untuk mengevaluasi diri. Beranikah kita? Ingat, berani bermimpi adalah langkah awal menuju sukses tetapi berani bergerak adalah hal yang membuat segalanya menjadi nyata. Selamat memantikkan kembali keberanian!

Andhika P. Novananda
Murid Sekolah Kehidupan

3 komentar:

Silahkan isi komentar ...

Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.