CATATAN DARI MENTORING KEWIRAUSAHAAN PADAT KARYA PRODUKTIF
Menyiarkan Semangat Berimajinasi

Berimajinasi atau dalam kata lainnya berhasrat di hampir seluruh buku panduan sukses menjadi landasan fundamental dalam sebuah bangunan rumah kesuksesan. Sayangnya, semangat berimajinasi ini pada masyarakat kita sering diberangus dengan berbagai alasan. Inilah yang menjadi tugas pertama bagi tim mentoring kewirausahaan untuk berbagi kepada para kelompok penerima bantuan sarana usaha Padat Karya Produktif 2009.

Dalam bangunan teori kesuksesan D-B-S-A yang menjadi keyakinan bagi JRU, unsur D (dream) ditempatkan menjadi tahapan yang pertama karena unsur inilah yang melandasi sebuah keyakinan untuk sukses. Mimpi adalah bahan bakar orang hidup, begitu kata bijaksana yang terserak di berbagai buku panduan sukses. Impian ini kemudian bermetamorfosis dalam berbagai diksi, ada yang menyebutnya imajinasi, “dream”, impian, ide, atau bahkan hasrat. Tetapi, semuanya merujuk pada sebuah kondisi dari internal personal sang pebisnis yang menginginkan suatu kondisi tertentu yang tentu saja lebih baik dari kondisi saat ini. Inilah yang disebut sebagai visi, cita-cita, atau ide.

Kondisi ini pada banyak kasus tidak bisa dipaksakan karena memang inilah keinginan dasar dari sang pebisnis yang mendasari legenda kewirausahaan yang akan dibangunnya. Karena dengan berbagai alasan kultural, masyarakat kita tidak terbiasa untuk melakukan imajinasi pada konteks ini. Tekanan sosial yang mengimpit bisa jadi menjadi alasan mengapa masyarakat kita—terlebih mereka yang bisa disebut marjinal—mengalami hal ini. Tidak semua memang, tetapi kebanyakan dari mereka mengalami hal ini.

Ada beberapa perkecualian yang bisa menjadi hipotesis empirik. Pertama, mereka sudah memahami persoalan teknis yang melingkupinya sehingga mereka bisa melakukan perhitungan dan prakiraan yang membuat segalanya menjadi terukur. Kedua, mereka memiliki dukungan sumberdaya alam yang kuat dan hampir tidak terbantahkan. Kedua hal besar ini menjadi modal dasar yang kuat bagi mereka untuk percaya diri menghadapi persoalan bisnis selanjutnya. Ketiga, secara alamiah mereka memiliki rasa percaya diri yang kelewat besar yang pada beberapa konteks seringkali harus dikendalikan agar tidak menjadi “overconfidence”. 

Tantangan kemudian mengemuka bagi mereka yang secara teknis tidak memiliki pemahaman komprehensif dan terkesan coba-coba. Ini menjadi sebuah keniscayaan karena banyak dari program pemerintahan semacam ini dibuat dalam konteks memanfaatkan anggaran yang sudah direncanakan sebelumnya. Selain itu, ketiadaan data potensi dan identifikasi masalah di setiap daerah menjadikan proposal yang masuk seringkali tidak dibekali dengan “sistem penjurian” yang komprehensif untuk menilai. Membangkitkan imajinasi pada tataran inilah yang menjadi sebuah tantangan tersendiri. Inilah tantangannya! Au revoir!
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.