Wedangan Sore bersama Kawan Penerbitan & Distribusi Buku Jogjakarta
Semua Orang Bisa Menjadi Penerbit!

Menjadi penerbit buku ternyata bukan perkara yang terlampau rumit. Melalui keberadaan perusahaan distribusi buku, sebuah penerbit yang hanya bermodalkan komputer dan seorang editor sudah bisa menjajakan buku terbitannya hingga ke seluruh Indonesia. Inilah inspirasi apik yang diharapkan bisa menggerakkan potensi kreatif di Semarang, terutama yang berkaitan dengan dunia perbukuan.

Sebagai sebuah kota, Semarang sesungguhnya merupakan sebuah tempat potensial yang menyimpan banyak kekayaan intelektual yang belum tergarap dengan baik. Hal ini diyakini oleh Hariyadi, pemilik distributor buku Solusi Distribusi yang bermarkas di Jogjakarta. Dalam sebuah kesempatan wedangan sore bersama dengan kerabat JRU dan beberapa sahabat seperjuangan, potensi tersebut diyakini bisa menjadi sebuah ledakan hebat yang bukan tidak mungkin akan menjadi kompatriot Solo dan Jogjakarta dalam membangun pusat kreativitas baru selain Bandung dan Jakarta. Salah satunya adalah melalui industri perbukuan. Industri yang sepintas remeh ini ternyata memiliki potensi yang luar biasa. Hariyadi, dengan pengalaman panjangnya di industri perbukuan, menceritakan jika industri perbukuan tak ubahnya industri produk konsumsi yang segalanya bisa dijual. Kompetisi yang ada saat ini selalu menyisakan ceruk pasar yang bila dioptimalkan potensinya bukan mustahil bisa mencetak orang kaya baru. Hariyadi yang datang bersama dengan beberapa kawannya yang menerbitkan buku menceritakan bagaimana seorang mantan karyawan Solusi Distribusi, perusahaan yang dimilikinya, bisa menjadi perempuan dengan penghasilan minimal Rp 50 juta per bulannya hanya dengan menerbitkan buku. Pun, perempuan bernama Latifah itu bukanlah intelektualis, dia hanya perempuan biasa yang hanya memahami sedikit dunia perbukuan di awal karier kreatifnya di industri perbukuan. Tapi, jangan tanya siapa Latifah hari ini, pertanyaan apapun tentang dunia perbukuan bisa dijawabnya dengan tangkas karena bekal pengalamannya. Hariyadi kemudian menceritakan jika dia bisa mencetak Latifah menjadi pribadi semacam itu lewat sebuah gerakan bernama “self publishing”. Ringkasnya, “self publishing” adalah sebuah kerja kreatif produksi buku yang tidak memerlukan infrastruktur korporasi layaknya perusahaan penerbitan klasik. Pekerjaan semacam penulisan dan penyuntingan sesungguhnya adalah sebuah pekerjaan mandiri yang bisa dilakukan siapapun hanya dengan bekal seperangkat komputer. Ketika urusan cetak-mencetak, ini adalah wilayah kompetensi para percetakan yang sudah menjamur di mana-mana. Buku yang sudah jadi pun akan bisa dengan mudah dijumpai di toko buku manapun ketika kita mempercayakan itu semua kepada perusahaan distribusi buku. Pendeknya, menjadi penerbit itu sebenarnya mudah karena urusan penerbit sesungguhnya adalah hanya berkaitan dengan urusan kreatif semata. Bahkan, di kantong kreativitas semacam Jogjakarta, urusan kreatif ini bisa menjadi semakin mudah lewat keberadaan penulis lepas dan jasa penyuntingan yang dengan mudah dan ekonomisnya bisa didapatkan. Inilah yang kemudian menjadikan pria yang pernah berkarier cukup lama di konglomerasi perbukuan nasional ini terinspirasi membuat sebuah kantong kreatif yang menjelma menjadi penerbitan-penerbitan berskala mikro-kecil yang kemudian produknya didistribusikan perusahaan miliknya ke jaringan toko buku nasional seperti Gramedia, Gunung Agung, dan Togamas. Prospek industri ini ke depannya masih cukup baik, mengingat ambisi besar dari beberapa jaringan toko buku untuk menambah gerainya hingga ratusan jumlahnya. Tentu saja ini membutuhkan pasokan buku yang jumlahnya juga semakin bertambah dengan berkembangnya pasar yang menjadi target bidikan. Minat baca masyarakat yang perlahan mulai meningkat menjadi salah satu faktor strategik lainnya yang membuat industri buku semakin seksi untuk dilirik. Salah seorang kerabat JRU yang lima tahun belakangan ini sudah basah-kuyup dengan industri buku menceritakan jika dirinya bisa mengumpulkan uang puluhan juta rupiah setiap semesternya dari royalti penulisan puluhan bukunya yang sudah diterbitkan oleh penerbit-penerbit berskala nasional. Bertemu dengan komunitas yang dipandegani oleh Hariyadi, dirinya kemudian mencoba untuk menjajal dunia baru bernama “self publishing”. Ternyata, hasilnya luar biasa. Dari sisi bisnis, pendapatannya dari beberapa buku yang dijajakan melalui “self publishing” hasilnya tidak kalah dengan pendapatannya dari royalti buku. “Bahkan, untuk beberapa kasus saya harus jujur peluang ini lebih menjanjikan ketimbang hanya menjadi penulis buku,” tambahnya. Prinsip terbaik untuk bisa eksis di industri perbukuan sesungguhnya sederhana. Basis industri buku adalah kreativitas, maka kreativitas itulah yang harus dibangun dan menjadi landasan fundamentalnya. Bergabung dengan komunitas kreatif perbukuan bisa menjadi alternatif selanjutnya agar buku bisa menjadi investasi di hari tua yang menjanjikan. Nah, siapa yang tidak tertarik menjadi penerbit buku? Yakinlah, siapa saja kini bisa menjadi penerbit buku!
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.