Ideologi Kekerasan

Kekerasan tidak pernah dapat menyelesaikan masalah, justru melahirkan masalah baru. Maka, orang Jawa mengenal pemeo Sing ngalah, luhur wekasane (Yang mengalah akan menang pada akhirnya). Mengalah bukan berarti kalah, lemah-lembut bukan berarti tidak kuat.

SANG pemenang berkata dengan kata-kata lembut tapi argumentasinya kuat, sang pecundang berkata dengan kata-kata keras tapi argumentasinya lemah. Sang pemenang tidak menggunakan kekerasan dalam upaya mencapai tujuan, sang pecundang berusaha dengan cara kekerasan dalam upaya mencapai ambisinya. Sang pemenang selalu kreatif dalam menyikapi ketertekanan, sang pecundang selalu reaktif dalam merespons situasi.

Sayangnya, banyak di antara kita yang memlilih cara-cara sang pecundang; yaitu cara-cara kekerasan. Banyak di antara kita yang salah mengerti, menganggap bahwa kalau sudah menempuh cara kekerasan berarti menjadi pemenang. Itu salah besar, karena kekerasan sesungguhnya adalah kelemahan sejati manusia.

Dalam khasanah budaya Jawa, kekerasan itu perwujudan dari anasir amarah yang berada dalam diri manusia. Anasir ini terjadi dari unsur api, berada dalam darah. Wataknya keras, cepat naik darah, pemarah, suka uring-uringan. Kebalikannya adalah anasir mutmainah, yang terjadi dari unsur hawa, berada dalam napas. Wataknya terang, suci, bakti, dan belas kasihan.

Kekerasan tidak pernah dapat menyelesaikan masalah, justru melahirkan masalah baru. Maka, orang Jawa mengenal pemeo Sing ngalah, luhur wekasane (Yang mengalah akan menang pada akhirnya). Mengalah bukan berarti kalah, lemah-lembut bukan berarti tidak kuat.

Sayangnya, sekarang sudah banyak wong Jawa ilang Jawane. Tidak lagi lemah-lembut, penuh tenggang rasa dan harmoni. Mutmainah cenderung dikalahkan oleh amarah. Cinta-kasih cenderung disingkirkan oleh kekerasan.
* * *
Kekerasan tidak hanya ada di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), tapi di banyak segi kehidupan. Di jalan-jalan raya, di kantor-kantor, di sekolah-sekolah, di lapangan sepak bola, di rumah tangga, dan di berbagai tempat yang lain.

Kekerasan sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Orang tua menempeleng anaknya, suami membentak-bentak istrinya, istri mencemberuti suaminya. Di jalan-jalan, orang saling mencaci-maki dengan sesama pengguna jalan. Di kantor-kantor, atasan menyumpah-serapahi bawahan, dan seterusnya.

Kekerasan sudah menjadi semacam ideologi, maka tidak perlu heran kalau di Ambon, di Poso, di tempat-tempat lain, sesama manusia bisa saling mencederai, saling membunuh. Sebagai ideologi, maka kekerasan berkonotasi negatif, karena salah satu pengertian ideologi adalah teorisasi atau spekulasi dogmatik dan khayalan kosong yang tidak realistis, atau bahkan palsu dan menutup-nutupi realitas yang sesungguhnya. ("Kamus Filsafat" karya Lorens Bagus, 2000:306).

Kasus IPDN hanyalah salah satu contoh dari ideologi kekerasan yang diam-diam merasuki sendi kehidupan. Kekerasan yang dilakukan aparat ketika menggusur pedagang kaki lima adalah contoh yang lain. Tapi, tindakan melawan aturan ketertiban yang dilakukan oleh pedagang kaki lima, sehingga merampas hak pejalan kaki atas trotoar, juga merupakan contoh lain lagi.

Kekerasan selalu meniadakan akal sehat. Itulah sebabnya, dulu Socrates rela dihukum mati dengan cara meminum racun karena mengalah terhadap kekerasan penguasa. Socrates tidak mau kehilangan akal sehatnya hanya karena menghadapi kekerasan, dan ia pun luhur wekasane.
* * *
Kekerasan itu bentuk dehumanisasi. Sebuah proses degradasi nilai-nilai kemanusiaan. Itulah sebabnya, Mahatma Gandhi menerapkan ajaran "kekuatan nir-kekerasan" (yang dikenal sebagai Ahimsa) justru untuk mengangkat nilai kemanusiaan. Nir-kekerasan adalah kekuatan yang sesungguhnya, sedangkan kekerasan justru kelemahan sejati.

Almarhum Nurcholish Madjid pun pernah mengintrodusir agama yang hanif, yang teduh, damai, tanpa kekerasan. Sedangkan almarhum Romo JB Mangunwijaya selalu mengembangkan pendekatan toleransi kemanusiaan dalam keberagamaan.

Bagi Gandhi, Cak Nur, maupun Romo Mangun, kekerasan pastilah dipandang sebagai ideologi yang harus dieliminasi dari Bumi Pertiwi ini. Kekerasan hanyalah cara yang tidak berguna, apa pun alasannya.

Ketika manusia memilih cara-cara kekerasan, maka sebenarnya ia sedang "menggali liang kuburnya sendiri." Menuju kematian. Bukan kematian yang dikehendaki oleh Yang Maha Hidup, melainkan kematian yang sia-sia.

Kekerasan menjerumuskan manusia ke dalam jurang terjal. Ke dalam derajat kehidupan yang sangat rendah. Sebaliknya, cinta-kasih, keteduhan, dan kedamaian akan membawa manusia ke dalam derajat kemanusiaan yang jauh lebih tinggi. Bahkan, derajat yang tinggi dalam pergaulan antarmanusia di dalam konteks pergaulan internasional di era global sekarang ini.

Kekerasan bukanlah solusi, melainkan masalah. Maka, kekerasan bukanlah cara yang tepat untuk menuju kemenangan (dunia dan akhirat), karena sang pemenang bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Bisa dibayangkan, bagaimana masa depan sebagai bangsa kalau masih saja memilih cara-cara kekerasan dalam menangani berbagai masalah; politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kita tidak akan pernah menjadi sang pemenang, tapi terus-menerus menjadi pecundang. (11)

Adi Ekopriyono, Humanis dan Jurnalis.
Tinggal dan berkarya di Semarang.
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.