Keresahan Budaya

Seorang spiritualis Jawa, ketika saya wawancarai, menyatakan bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini sedang mengalami keresahan budaya semacam itu. Sebuah gejala, yang menurut dia, sangat tidak menguntungkan bangsa ini. Ibaratnya, bangsa ini sudah kehilangan pegangan, sehingga arahnya tidak jelas, karena budaya adalah fondasi yang seharusnya kokoh dipertahankan sebagai modal untuk bersaing di era global.

PADA Abad XI, Kerajaan Kediri maju pesat di bawah Raja Airlangga yang memeluk agama Syiwa-Buddha; yaitu sinkretisme antara agama Syiwa dan Buddha Tantrayana. Pada masa itulah, muncul gubahan sastra keagamaan yang sangat terkenal, Ramayana dan Mahabharata dalam bentuk puisi yang disebut serat kakawin.

Pada masa Kerajaan Majapahit, agama Syiwa-Buddha hidup berdampingan menjadi agama resmi negara. Puncak kejayaan terjadi pada masa Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa yang terkenal itu. Perdagangan dengan dunia luar berkembang pesat.

Kebudayaan Jawa menerima dan menyerap unsur-unsur hinduisme-buddhisme. Proses itu bukan sekadar akulturasi, melainkan kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India.

Dalam konteks itu para budayawan Jawa bertindak aktif, berusaha mengolah unsur-unsur agama dan kebudayaan India untuk memperbarui dan mengembangkan kebudayaan Jawa (Simuh dalam Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, 1999).

Cerita Ajisaka juga menggambarkan keberhasilan para cendekiawan Jawa dalam mengubah huruf Hindu menjadi huruf Jawa, serta proses pemanfaatan Tahun Saka untuk mencatat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa.
***
SUNAN Kalijaga mentransformasikan agama Islam yang bernuansakan Arab kepada orang-orang Jawa. Nuansa Islam yang (ketika itu) terasa asing bagi orang Jawa diubah menjadi agama yang bisa diterima di Jawa.

Sunan menggali perbendaharaan spiritual Jawa dan memadukannya dengan ajaran Islam, yaitu Ayat 255 Surat Al Baqarah, dan menghasilkan tembang lima bait "Rumeksa ing Wengi". Intinya, sebagai mantra untuk perlindungan dari kejahatan di waktu malam (Achmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, 2006).

Komunikasi antara Islam dan budaya lokal Jawa kemudian juga melahirkan berbagai kebiasaan khas yang dilakukan oleh masyarakat, yang berbeda dari masyarakat Timur Tengah. Sebut saja, misalnya, halalbihalal, mudik, dan tilik kubur.

Sebelum ada campur tangan misionaris Barat, seperti ditulis Bambang Noorseno dalam Menyongsong Sang Ratu Adil, pekabaran Injil (agama Kristen) di Jawa yang relatif alamiah tidak menimbulkan gejolak apa pun. Seperti Sunan Kalijaga tidak perlu menjadi Arab meskipun memeluk Islam, para "kiai" Kristen Jawa menerima agama Kristen tetapi menolak Belanda. Kiai Tunggul Wulung tetap memertahankan identitas Jawanya; begitu pula Kiai Sadrakh yang menyebut jamaahnya sebagai pasamuwane wong Kristen mardika (jamaah Kristen merdeka).

Masalah mulai muncul ketika kekristenan dekat dengan misionaris Barat. Kedekatan itu kemudian menuai kritik; kemudian muncul istilah "Kristen Jawa" dan "Kristen Landa", untuk menyebut orang-orang Kristen yang tetap berbudaya Jawa dan orang-orang Kristen yang kelanda-landaan.
***
PERTEMUAN antara agama dan budaya selalu melahirkan "tarik-menarik", bahkan tidak jarang pencampuradukan antarkeduanya. Dari sejarah, kita belajar bahwa orang Jawa pintar menyikapi "tarik-menarik" itu; maka muncul ungkapan-ungkapan budaya Jawa lentur luwes, fleksibel, sehingga agama apa pun bisa "dijawakan" (meskipun ada teman yang berpendapat sebaliknya: justru Jawa yang "diagamakan").

Tidak dapat dimungkiri, bahwa sejarah pun mencatat muncul keresahan-keresahan ketika sebuah budaya menerima pengaruh dari luar, baik karena masuknya agama, budaya, maupun agama bersama-sama dengan budaya.
Kenyataan itu tidak hanya terjadi pada budaya Jawa karena pengaruh Hindu, Buddha, Islam, Kristen, tapi juga pada masyarakat Eropa di abad pertengahan dulu.

Dominasi agama/gereja yang melakukan ekspansi ke wilayah budaya, pada abad pertengahan itu, menimbulkan berbagai reaksi. Salah satu reaksi itu adalah kehendak untuk kembali kepada masa Romawi-Yunani kuna, mengembalikan harkat kemanusiaan agar terlepas dari dominasi agama/gereja, kemudian memunculkan gerakan-gerakan humanisme.

Globalisasi yang oleh beberapa pengamat disebut sebagai pemaksaan budaya Barat terhadap budaya-budaya lokal, juga menimbulkan keresahan-keresahan. Dalam pandangan sosiolog Emile Durkheim, keresahan itu disebabkan oleh keadaaan anomie, ketika nilai-nilai lama sudah luntur (bahkan hilang), tapi nilai-nilai baru belum terbentuk.

Seorang spiritualis Jawa, ketika saya wawancarai, menyatakan bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini sedang mengalami keresahan budaya semacam itu. Sebuah gejala, yang menurut dia, sangat tidak menguntungkan bangsa ini. Ibaratnya, bangsa ini sudah kehilangan pegangan, sehingga arahnya tidak jelas, karena budaya adalah fondasi yang seharusnya kokoh dipertahankan sebagai modal untuk bersaing di era global.

Menurut dia, keresahan budaya itu pula yang terlihat dari munculnya berbagai aliran keagamaan, yang kemudian dikategorikan sebagai aliran sesat. Gejala itu menggambarkan banyak orang yang mencari-cari "jatidiri kebudayaannya".
Saya memimpikan, kebangkitan agama-agama sekarang ini diimbangi oleh kebangkitan budaya-budaya lokal, seperti pada masa Airlangga, Gajah Mada, Sunan Kalijaga, dan Kiai Sadrakh.

Adi Ekopriyono
Humanis dan Jurnalis
Tinggal dan berkarya di Semarang
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.