Memotong Rumput

Rumput itu harus seluruhnya rapi agar pandanganku tidak terganggu. Setiap aku lelah dan ingin berhenti kupandangi  bagian yang masih liar itu sambil meneriakkan sajak Chariril Anwar di dalam hati: ini kerja belum selesai, belum apa-apa. Maka setelah sejenak berhenti, aku tergerak memulai lagi. Akhirnya, bidang yang sebetulnya tidak luas itu rampung juga. Terengah nafasku dan lapar sekali perutku.

Rumput di depan rumah itu sebenarnya bukan lagi rumput halamanku walau rumah yang terdekat adalah rumahku. Tetapi sejatinya ia adalah rumput di jalan umum. Tetapi walau ia rumput milik umum akulah yang secara moral bertangungjawab memotongnya karena ia tepat terletak di depan mataku.

Tetapi karena aku seorang pemalas,seorang tetangga yang baik hati sering mengambil tugas itu. Tetapi karena pada dasarnya ia rumput di jalan umum, maka ia hanya mendapat perawatan umum. Dan siapa bernama umum tidak jelas kriterianya, ia boleh siapa saja, walau yang paling sering mewakili umum adalah tetanggaku yang sudah kusebut di depan itu.
       
Tetapi karena ia tetaplah rumput milik umum, maka liar itulah  wajahnya hampir selalu. Jika sekali waktu tetanggaku itu berbaik hati, baru ia menjadi rumput yang rapi. Melihat keliaran berhari-hari yang kemudian berganti kerapian dalam sehari, sungguh sebuah sensasi. Kontras itu terasa sekali.

Dan setiap kontras itu terjadi,satu saja ingatanku, lagi-lagi, itu pasti hasil kebaikan tetanggaku.Indah sekali rumput itu. Dan di mana-mana, keindahan, selalu mendatangkan  perasaan senang. Walau rasa senang ini dalam sekejap sudah harus berganti malu. Kenapa? Karena selalu saja, setiap rumput itu merapi, selalu yang muncul adalah jasa tetanggaku.

Melihat keindahan yang aku ikut menikmati tetapi sama sekali tak ikut berkonstribusi, sama saja dengan makan gaji buta setiap kali. Rasanya tak enak di sana-sini. Maka setiap melihat rumput yang indah itu, yang muncul selalu malah wajah tetangga yang seperti mencibirku.
       
Maka pada suatu hari kuputuskan untuk membeli gunting taman dan ketika rumput itu kembali meliar kupotongi dia sampai berkeringat dan lecet tanganku. Sebetunya tidak kuat aku merampungan seluruh bidangnya, tetapi setiap hendak berhenti, bidang itu kembali aku pandangi. Demi melihat setengah rumput telah rapi,  setengahnya masih liar, rasanya malah gatal sekali.

Rumput itu harus seluruhnya rapi agar pandanganku tidak terganggu. Setiap aku lelah dan ingin berhenti kupandangi  bagian yang masih liar itu sambil meneriakkan sajak Chariril Anwar di dalam hati: ini kerja belum selesai, belum apa-apa. Maka setelah sejenak berhenti, aku tergerak memulai lagi. Akhirnya, bidang yang sebetulnya tidak luas itu rampung juga. Terengah nafasku dan lapar sekali perutku.
       
Makan di saat lapar adalah kebahagiaan besar. Lapar karena bekerja adalah kegembiraan berikutnya. Lapar karena kerja lalu menikmati hasil kerja adalah kebahagiaan berikutnya lagi. Sambil makan, kupandangi rumput rapi itu dengan sepenuh hati. Kini, wajah tetanggaku tak lagi mengganggu.

Yang muncul adalah wajahku sendiri yang berkeringat dan tersenyum penuh kemenangan karena telah berhak menikmati keindahan hasil dari kerja sendiri
       
Ada banyak keindahan, rezeki, prestasi, dan keberuntungan hidup, tetapi jika aku tak ada di dalamnya, tak telibat dalam prosesnya, ia akan lewat begitu saja. Ia bukan milik kita.
Seberapapun besar sebuah pencapaian hidup, jika bukan kita sendiri yang mencapainya, ia tak akan singgah di ulu hati. Ia akan lewat sebagai peristiwa kebanyakan. Rumput itu mengajariku untuk terlbiat di setiap kebaikan agar ada aku di dalamnya. Karena cuma ketika ada aku, kebaikan yang di sana itu, juga akan terasa sebagai kebaikanku.


Prie GS
Budayawan, Motivator, Penulis Buku Best Seller
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.