Gila Bola Amatiran
Itulah partai yang membuat saya rela tidak tidur semalaman dan masih saya ingat dengan baik bagaimana gaya Zinadine Zidane saat menjadi jenderal di lapangan. Gaya yang tak pernah saya lupakan. Tetapi apakah itu semua semata karena bola? Saya kurang meyakininya. Yang pasti ialah karena waktu itu saya dikontrak menjadi komentator nonton bareng di sebuah kafe dan mendapat order nulis kolom di koran saya. Saya menjadi penikmat, menjadi sok tahu, bukan karena saya seorang pecandu, tapi karena dibayar saja.
Begitu Piala Dunia dimulai saya segera menyiapkan ritual khusus. Pertama meminta istri menggoreng mendoan di malam sebelum pertandingan. Di sore hari saya telah meminta anak-anak menyapu dengan saya sendiri yang akan mengepel lantai dan bersih-bersih rumah.
Pesta akbar ini harus dirayakan dengan seksama tak peduli bahwa Indonesia belum pernah sekalipun bisa mengirimkan wakilnya, kecuali cuma ikut menjadi penonton saja. Tetapi, jika punya wakil saja tidak, bergembira juga tidak, sungguh kerugian ganda. Mari kita buktikan bahwa tanpa wakil pun mudah sekali bergembira. Prestasi tak perlu tinggi-tingi karena bahkan tanpa prestasi pun kita ini sudah bisa bergembira.
Singkat kata rumah saya sudah bersih dan di depan televisi sudah saya tata sedemikian rupa. Peluh yang berleleran ketika bekerja itu membuat saya benar-benar sehat dan bergairah. Hasilnya luar biasa: akibatnya selepas isya, saya sudah tertidur pulas saking lelahnya. Pagi-pagi sekali, saya bangun dengan tubuh segar, walau dengan perasaan malu. Apalagi istri mengerti sejarah tidur nyenyak ini. ‘’Penonton bola amatiran,’’ begitu sindirnya.
Ya, sejatinya, saya menyukai Piala Dunia lebih karena banyak orang menyukainya. Kelelahan fisik saya itu pasti karena tarikan jiwa saya sebetulnya tidak tinggi-tinggi amat kepada bola. Betapapun saya meninggi-ninggikan diri, sesungguhnya intensitas saya rendah saja. Maka meskipun ritual saya siapkan, meskipun gairah saya demonstrasikan, tetapi fisik saya memilih jujur dalam melayani panggilan jiwa saya. Bola itu tidak berhasil mengatasi kantuk saya karena memang tidak ada perlawanan yang sungguh-sungguh. Bukan saya tidak ingin, tetapi lebih karena keinginan saya itu tidak cukup sepenuh gairah.
Tetapi jangan dikira saya menyerah. Di esok hari, ketika bertemu tetangga, saya bisa dengan semangat mengimbangi cerita mereka, cukup dengan bekal membaca berita. ‘’Meksiko main bagus sekali. Coba kalau gol itu tidak dianulir, tuan rumah bisa tercoreng di rumahnya sendiri,’’ kata saya bak seorang komentator ahli. ‘’Padahal gol itu mestinya sah. Coba kalau keputusan itu terjadi di sini, wasit itu pasti sudah digebuki,’’ tambah saya bergairah.
Darimana gairah saya ini muncul? Saya ragu jika jawabnya datang dari sepak bola semata, walau sekelas Piala Dunia sekalipun. Saya malu mestinya dengan lagak sok bergairah seperti ini, walau bukan berarti saya tidak bisa menikmati bola. Bisa, saya amat bisa menikmati. Saya masih ingat malam Final ketika Prancis menjadi Juara Dunia saat itu.
Itulah partai yang membuat saya rela tidak tidur semalaman dan masih saya ingat dengan baik bagaimana gaya Zinadine Zidane saat menjadi jenderal di lapangan. Gaya yang tak pernah saya lupakan. Tetapi apakah itu semua semata karena bola? Saya kurang meyakininya. Yang pasti ialah karena waktu itu saya dikontrak menjadi komentator nonton bareng di sebuah kafe dan mendapat order nulis kolom di koran saya. Saya menjadi penikmat, menjadi sok tahu, bukan karena saya seorang pecandu, tapi karena dibayar saja.
Tetapi kini, walau tidak dibayar, kenapa saya masih terlibat dengan pesta ini? Inilah alasannya, karena dalam hidup, ternyata saya tak bisa sendiri. Saya tak bisa terpisah dari masyarakat saya. Saya kecil hati jika mereka ramai bicara, sementara saya diam saja. Saya mengerti, penyakit paling berbahaya di dunia ini adalah perasaan sepi dan sendiri.
PRIE GS - budayawan, humanis & penulis beberapa buku best seller
Begitu Piala Dunia dimulai saya segera menyiapkan ritual khusus. Pertama meminta istri menggoreng mendoan di malam sebelum pertandingan. Di sore hari saya telah meminta anak-anak menyapu dengan saya sendiri yang akan mengepel lantai dan bersih-bersih rumah.
Pesta akbar ini harus dirayakan dengan seksama tak peduli bahwa Indonesia belum pernah sekalipun bisa mengirimkan wakilnya, kecuali cuma ikut menjadi penonton saja. Tetapi, jika punya wakil saja tidak, bergembira juga tidak, sungguh kerugian ganda. Mari kita buktikan bahwa tanpa wakil pun mudah sekali bergembira. Prestasi tak perlu tinggi-tingi karena bahkan tanpa prestasi pun kita ini sudah bisa bergembira.
Singkat kata rumah saya sudah bersih dan di depan televisi sudah saya tata sedemikian rupa. Peluh yang berleleran ketika bekerja itu membuat saya benar-benar sehat dan bergairah. Hasilnya luar biasa: akibatnya selepas isya, saya sudah tertidur pulas saking lelahnya. Pagi-pagi sekali, saya bangun dengan tubuh segar, walau dengan perasaan malu. Apalagi istri mengerti sejarah tidur nyenyak ini. ‘’Penonton bola amatiran,’’ begitu sindirnya.
Ya, sejatinya, saya menyukai Piala Dunia lebih karena banyak orang menyukainya. Kelelahan fisik saya itu pasti karena tarikan jiwa saya sebetulnya tidak tinggi-tinggi amat kepada bola. Betapapun saya meninggi-ninggikan diri, sesungguhnya intensitas saya rendah saja. Maka meskipun ritual saya siapkan, meskipun gairah saya demonstrasikan, tetapi fisik saya memilih jujur dalam melayani panggilan jiwa saya. Bola itu tidak berhasil mengatasi kantuk saya karena memang tidak ada perlawanan yang sungguh-sungguh. Bukan saya tidak ingin, tetapi lebih karena keinginan saya itu tidak cukup sepenuh gairah.
Tetapi jangan dikira saya menyerah. Di esok hari, ketika bertemu tetangga, saya bisa dengan semangat mengimbangi cerita mereka, cukup dengan bekal membaca berita. ‘’Meksiko main bagus sekali. Coba kalau gol itu tidak dianulir, tuan rumah bisa tercoreng di rumahnya sendiri,’’ kata saya bak seorang komentator ahli. ‘’Padahal gol itu mestinya sah. Coba kalau keputusan itu terjadi di sini, wasit itu pasti sudah digebuki,’’ tambah saya bergairah.
Darimana gairah saya ini muncul? Saya ragu jika jawabnya datang dari sepak bola semata, walau sekelas Piala Dunia sekalipun. Saya malu mestinya dengan lagak sok bergairah seperti ini, walau bukan berarti saya tidak bisa menikmati bola. Bisa, saya amat bisa menikmati. Saya masih ingat malam Final ketika Prancis menjadi Juara Dunia saat itu.
Itulah partai yang membuat saya rela tidak tidur semalaman dan masih saya ingat dengan baik bagaimana gaya Zinadine Zidane saat menjadi jenderal di lapangan. Gaya yang tak pernah saya lupakan. Tetapi apakah itu semua semata karena bola? Saya kurang meyakininya. Yang pasti ialah karena waktu itu saya dikontrak menjadi komentator nonton bareng di sebuah kafe dan mendapat order nulis kolom di koran saya. Saya menjadi penikmat, menjadi sok tahu, bukan karena saya seorang pecandu, tapi karena dibayar saja.
Tetapi kini, walau tidak dibayar, kenapa saya masih terlibat dengan pesta ini? Inilah alasannya, karena dalam hidup, ternyata saya tak bisa sendiri. Saya tak bisa terpisah dari masyarakat saya. Saya kecil hati jika mereka ramai bicara, sementara saya diam saja. Saya mengerti, penyakit paling berbahaya di dunia ini adalah perasaan sepi dan sendiri.
PRIE GS - budayawan, humanis & penulis beberapa buku best seller