Gerakan Ketulusan Nasional

Semakin sering saya melihat hasil sebuah ketulusan, semakin ingin saya mengabarkan. Telah banyak saya lihat, tentang bagaimana ketulusan mengubah keadaan. Ia adalah kotbah paling meyakinkan. Saya selalu takjub, kepada tetangga saya, yang saat lingkungannya repoit, langsung bekerja begitu saja. Ia tidak memandang tinggi diri sendiri. Dan ia tidak memandang rendah kepada pihak yang cuma diam saja. Itulah indikasi ketulusan paling sederhana, yang akibat baiknya langsung terasa.


Bekerja dengan orang-orang semacam itu sunguh menenteramkan hati. Meskipun yang dikerjakan adalah soal-soal kecil, tetapi ia menjadi soal besar karena ketulusannya. Sementara banyak sekali pekerjaan besar menjadi terasa kecil, karena pamrih-pamrih di sebaliknya. Memang remeh saja pekerjaan itu, misalnya cuma membersihhkan got, menyiangi rumput di jalan, dan merawat taman lingkungan. Tetapi dorongan di balik pekerjaan itulah yang membuat saya terpesona.

Membersihkan got sendiri saja sudah berat, apalagi got umum. Penyebab keberatan semacam itu setidaknya ada tiga: pertama adalah naluri manusia yang pada dasarnya memang enggan pada soal-soal yang berat. Membersihkan itu pasti jauh lebih berat katimbang dibersihkan. Itulah kenapa banyak awalan ‘’me’’, terpaksa harus diubah menjadi ‘’di’’ karena persoalan ini. Misalnya, jika seseorang gagal memperbaiki diri, ia pasti akan diperbaiki oleh keadaan. Kalau diperbaiki masih gagal, ia malah akan dihukum keadaan. Kenapa banyak sekali soal yang harus diperbaiki dan malah harus diukum? Ya karena memperbaiki diri sendiri, adalah soal yang sudah berat secara naluri.

Kedua, jika tugas memperbaiki itu pada dasarnya sudah berat, apalagi jika harus memperbaiki soal yang pada dasarnya berat. Seluruh tugas perbaikan itu sudah terasa berat, walau ia sebenarnya ringan. Mengantar istri berbelanja saja, bagi saya berat sekali, walau ini jelas-jelas pekerjaan menyenangkan. Jika mengantar belanja saja berat, apalagi membersihkan got, tentu jauh lebih berat. Walau itu masih terbatas got sendiri, dan kotorannya pun, adalah kotoran yang kita hasilkan sendiri.

Ketiga, jika membersihkan kotoran sendiri saja berat, apalagi jika harus membersihkan kotoran pihak lain, ini pasti jauh lebih berat. Itulah kenapa pekerjaan yang tampaknya sederhana itu sungguh bukan soal sederhana jika telah mendasar ideologinya. Tetangga saya itu, mengambil apa yang orang lain enggan mengambil. Mengerjakan apa yang orang lain enggan mengerjakan tetapi harus dikerjakan padahal tidak ada pihak yang bisa diharuskan. Kesulitan fasilitas umum itu ialah karena sifatnya yang umum. Semua orang terikat pada kata umum, siapa saja boleh mewakili dan karenanya malah tidak ada yang mewakili sama sekali.

Maka ketika ada seorang saja yang terpanggil untuk mengajukan diri sebagai wakil dari ketidak jelasan ini, sunguh ia sedang melayani panggilan tingkat tinggi yang datang dari dirinya sendiri. Orang-orang semacam ini, biasanya menjadi tidak sibuk bertaruh pada orang lain karena pertaruhannya pada diri sendiri. Jika ia malu, ia tidak malu kepada orang lain, tetapi pertama, ia malu kepada dirinya sendiri. Itulah kenapa panggilan-panggilan yang bagi orang lain terdengar lembut, baginya terdengar keras. Itulah kenapa tugas-tugas yang bagi orang lain sederhana, baginya tidak sederhana karena sepertinya cuma dia yang mendengar ketika got kotor itu berteriak-teriak memanggil sekitarnya. Bayangkan, jika banyak orang Indonesia seperti ini.


Prie GS
Budayawan, Motivator, Penulis Buku Best Seller
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.