Konsumerisme Indonesia VS Kewirausahaan Sosial

Saya terhenyak ketika salah seorang kerabat datang ke kediaman kami dan bercerita betapa kayanya negeri kita ini sebenarnya. Tak hanya keadaan alam yang membuat negeri ini kaya, tetapi kekayaan negara ini juga terlihat dari sikap konsumtif para penduduknya. Tak hanya di perkotaan besar seperti Jakarta dan Bandung saja kita bisa melihat dengan jelas konsumerisme. Bahkan di kampung sekalipun saya lihat banyak warganya yang konsumtif.

Gengsi memberikan peranan sangat besar dalam hal konsumerisme ini. Lihat saja cerita disalah satu TV Swasta beberapa tahun lalu berjudul 'Bajaj Bajuri' dimana terdapat sosok 'emak' yang gengsian dan tidak mau kalah dengan tetangganya. Hal ini kerap kita temui dalam kenyataan dan kehidupan sehari-hari. Sikap gengsi ini semakin melekat ketika masyarakat mulai branding dengan cara yang salah.

Salah persepsi lagi bila masyarakat Indonesia sudah mulai beralih dari barang dalam negeri ke barang import. Hal ini kembali berhubungan dengan gengsi tadi, dengan dalih barang-barang luar negeri mempunyai kwalitas mutu yang lebih baik. Masyarakat kita menjadi “gila” belanja barang-barang dari luar negeri. Tidak heran kalau Indonesia menjadi salah satu tujuan utama export barang dari luar negeri.

Semakin branded barang yang digunakan, semakin percaya dirilah mereka. Mungkin dengan sikap konsumtif seperti ini, menurut mereka akan sekaligus meningkatkan personal branding. Biar dianggap kaya, istilahnya.  Pertanyaannya, apakah dengan sikap masyarakat Indonesia yang seperti ini kita bisa mewujudkan kemajuan bangsa dan mengangkat nilai Indonesia di mata global? Tentu susah.

Saya kembali teringat oleh perkataan Rhenald Kasali Ketua Umum Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI) di acara Forum Wedangan yang diselenggarakan Jaringan RumahUSAHA, Minggu (10/9) lalu di Hotel Dafam. Ia mengatakan, “Kaya adalah akibat, bukan tujuan. Kaya adalah hasil dari kerja keras kita. Tapi dalam kewirausahaan sosial, kita bisa melihat betapa dahsyatnya inovasi milik Steve Jobs dan Bill Gates digabung dengan kemurahan hati Bunda Theresa.”

Dengan kewirausahaan inilah kita bisa melakukan suatu perubahan besar yang bisa menjadikan Indonesia lebih baik dan kuat. Tak hanya kewirausahaan yang mengarah pada usaha ekonomi, tetapi juga meliputi bidang lain seperti sosial, budaya, seni, dan teknologi. Di sinilah perlu adanya jiwa gabungan antara entrepreneur dan kepedulian sosial. Ya, apalagi jika bukan social entrepreneurship atau kewirausahaan sosial.

Jika sebelumnya masyarakat dunia telah mengetahui kewirausahaan sosial melalui Muhammad Yunus dengan Grameen Group-nya. Kini kitalah yang harus bangun dan menggerakkan rakyat melalui kewirausahaan sosial. Tak hanya produsen-produsen besar yang bisa berkembang, UMKM dan usaha-usaha kecil pun bisa turut berkembang. Dengan kewirausahaan sosial inilah diharapkan mengatasi berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, pendidikan, dan ketidakberdayaan masyarakat yang merupakan masalah multidimensi dan sulit dihapuskan dari dunia ini. Semoga!



Serena Marga
Wiramuda, Relawan JRU
twitter: @saoriserena
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.