CATATAN DARI DISKUSI AKHIR TAHUN 2008 RUMAH SENI YAITU
Belajar Meruang untuk Menumbuhkan Medium Berkomunitas

Tahun 2009 bagi sebagian besar orang mungkin sebuah tahun yang diliputi dengan pesimisme. Wajar, ini semua ekses dari ambruknya sistem korporasi kapital Amerika Serikat yang menjalar ke hampir seluruh penjuru dunia. Tetapi, bagi teman-teman pegiat komunitas Semarang, tahun depan adalah sebuah momentum untuk bertumbuh. Inilah sumbu pemantiknya yang digelar oleh Rumah Seni Yaitu.

Ini adalah eranya semua orang tidak hidup sendiri, tetapi hidup berkomunitas. Inilah inspirasi pembuka yang hadir dalam Diskusi Akhir Tahun 2008 yang digelar oleh Rumah Seni Yaitu. Ruang seni yang berada di bilangan Kampung Jambe pada Selasa (30/12) tersebut menghadirkan Yustina Neni, pemilik Kedai Kebun Forum Restaurant & Art Space dan Koesworo Bayu Aji, Direktur Eksekutif Teater Garasi. Kedua persona yang menjadi salah satu sumbu pergerakan kehidupan berkesenian di Yogyakarta ini hadir khusus atas undangan Tubagus P. Svarajati, pemilik Rumah Seni Yaitu yang tak pernah lelah untuk memberikan corak kesenian bagi kota ini. Tubagus tidak pernah tanpa alasan mengundang tamu-tamunya ke ruang seni miliknya tersebut. Tubagus kali ini membawa sebuah misi: memberikan bahan bakar untuk menggerakkan komunitas kesenian di Semarang. Tetamu yang hadir dalam diskusi yang dikemas dengan sajian teh, lunpia, dan pukis tersebut tentu saja anak-anak muda yang selalu bersemangat untuk memberikan warna bergerak dalam medium komunitas. Ada Gatot dan Agung dari kedai coklat Buket di bilangan Tembalang, kawan-kawan dari Byar Creative Industry, kawan-kawan dari majalah Mosh, kawan dari komunitas film dan visual independen E-Portal, Beno Siang Pamungkas dari Teater Lingkar, dan tak ketinggalan Jaringan RumahUSAHA. Diskusi dibuka dengan paparan dari Yustina Neni yang memaparkan pergulatannya mengembangkan Kedai Kebun di bilangan Tirtodipuran, Prawirotaman, Yogyakarta. Kafe yang kini juga bermetamorfosis menjadi “art space” dan tempat nongkrong seniman tersebut. “Awalnya saya tidak pernah berpikir jika Kedai Kebun menjadi seperti sekarang ini,” tutur istri dari perupa Agung Kurniawan tersebut. Dia yang lulusan UGM tersebut hanya ingin menyalurkan kebisaannya membuat roti bakar dan jus untuk sekadar dihidangkan. Akhirnya, dibuatlah sebuah kafe. Karena kehidupan Neni sehari-hari dibalut dengan nuansa kesenimanan khas Yogyakarta, jadilah Neni kemudian pada awalnya mencoba menawarkan ruangannya tersebut kepada seniman-seniman Yogyakarta. Inilah titik dimulainya perjuangan untuk melakukan edukasi konsumsi. “Seniman itu susah, kafe selalu dianggap mewah bagi mereka,” tuturnya jujur. Ruang bagi mereka adalah di angkringan yang sudah legendaris menjadi ruangan sosialita bagi mereka. Tetapi, Neni yakin ada sebuah kebutuhan untuk meruang bagi mereka—yang tentunya lebih dari sekadar angkringan. Neni kemudian mencoba berdialektika dengan memberikan ruangan bagi bertumbuhnya seniman-seniman muda Yogyakarta yang beragam rupa. Ada pelukis yang ingin memamerkan karyanya, kelompok musik independen yang ingin didengar, kelompok teater yang ingin ditonton, hingga ke kelompok seniman yang ingin berdiskusi, saling mengejek, dan kulakan ide. Jadilah Kedai Kebun ini menjadi sebuah “melting pot” di mana pusaran kebudayaan Yogyakarta mengarus, berbagi kesan dan pesan, memantik stimulasi berkarya, hingga membuktikan eksistensi. Inilah yang menjadikan Kedai Kebun saat ini tidak hanya hadir sebagai sebuah tempat makan semata tetapi juga ruang berkesenian yang memutarkan roda kebudayaan. “Saya membangun ini semua dengan sebuah strategi kebudayaan,” tutur Neni yang datang bersama Imelda, pengelola harian Kedai Kebun dan Anton Subiyanto, salah satu pegiat yang membantunya di Kedai Kebun Forum yang juga aktivis Komunitas Anak Wayang, komunitas yang menginspirasi kehidupan berman untuk anak-anak di ruang kampung-kampung marjinal sepanjang Kali Code. Ya, sebuah ruang tidak akan hadir dengan makna tertentu bila tidak ada strategi kebudayaan yang hendak diusungnya. Inspirasi ini yang kemudian memantik beragam ide yang hendak diterapkan dua anak muda kreatif yang mendirikan kedai coklat Buket di bilangan Tembalang. “Ini adalah diskusi kesenian, tetapi bagi saya ini adalah diskusi yang banyak menginspirasi ide bisnis untuk Buket,” tutur Gatot yang diiringi anggukan Agung Kurniawan yang datang bersama. Lain dari Kedai Kebun yang berbicara dalam konteks ruang, Koesworo Bayu Aji dari Teater Garasi berbicara dalam konteks dinamika kesenian komunal yang berhasil dipertahankannya sejak 1993. Aji yang lulusan Fisipol UGM tersebut bersama rekannya Yudi memantik ide membuat sebuah kelompok teater ketika mereka tengah berkuliah di kampus biru. Ide awal ini yang kemudian terus berpusar dan membesar hingga menjadikan Teater Garasi eksis hingga saat ini. “Di dalam kesenian berteater, sejak awal kami sudah komitmen untuk membagi urusan menjadi dua yaitu urusan estetika dan urusan manajemen,” ujarnya. Inilah yang kemudian menjadi kunci eksistensi Teater Garasi yang manajemennya kebetulan dipegang sendiri oleh Aji. Inilah yang menjadi salah satu kunci sukses eksistensi Teater Garasi yang berawal dari kampus dan kemudian eksis hingga ke ranah internasional. “Kami yakin karena konsep berteater adalah kesenian berkomunal sehingga kami lebih banyak mengurus hubungan antarpersona yang aneh-aneh,” sambungnya. Bagi Aji, mengelola teater lebih banyak berhubungan dengan mengelola pusaran pemikiran dari banyak orang. Di dunia teater, bila satu orang beride untuk sebuah karya, maka dirinya membutuhkan orang lain untuk bisa mewujudkan karya tersebut. “Ya membutuhkan aktor, penata artistik, lighting, sound, dan macam-macam lainnya,” tuturnya menjelaskan. Untuk itu, bagi Aji, yang terpenting adalah bagaimana bisa mengelola persepsi tersebut menjadi dalam satu visi. Itulah yang kemudian menjadikan Aji meyakini jika kaderisasi di dunia teater hampir sulit dilakukan. “Kami kemudian memilih untuk menyaring berdasarkan siapa yang memang ingin saja,” sambungnya. Mengelola sebuah komunitas memang bukan hal gampang, karena tidak ada kompensasi finansial yang langsung bisa didapat ketika orang hanyut dalam pusaran tersebut. Bagi Semarang yang tumbuh dengan ciri khas perdagangan, membuat budaya guyub adalah sebuah perjuangan tersendiri. “Tapi percayalah, komunitas di Yogyakarta tidak akan bisa hidup tanpa keberadaan Semarang yang menjadi lokasi keuangannya,” ujar Neni meyakinkan hadirin akan pentingnya keberadaan Semarang bagi pertumbuhan komunitas kebudayaan di Yogyakarta. Ya, malam tersebut memang diisi dengan curah-pikir dari berbagai sisi mengenai eksistensi komunitas. JRU yang datang diwakili oleh Koordinator Relawan iLik sAs dan relawan Adhimmas Nugroho dan Doni eLKa mencoba berbagi pengalaman membesarkan JRU sebagai sebuah komunitas yang bisa eksis di tengah gempuran individualisme kota ini. Hal yang paling penting adalah militansi. Inilah benang merah yang diforumkan oleh JRU malam itu. “Inilah malam aneh yang semoga bisa menjadi awal dari pergerakan kita semua,” tutup Gatot yang seakan memberikan inspirasi simpulan dari diskusi yang berlangsung hingga larut malam tersebut. Ya, sebuah awal yang semoga bisa memberikan warna baru bagi pertumbuhan kantong-kantong komunitas—bukan hanya kesenian—di Semarang yang seakan kering akan kehidupan berkumpul. Selamat Tahun Baru 2009! Sambut hari baru dengan optimisme dan semangat luar biasa!
Supported by LumbungMedia.com. Diberdayakan oleh Blogger.